Indonesia
Sample text
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Advertising
Translate
Social Icons
Labels
Followers
About Me
- Septian Cahyo Putro
- Depok, Jawa Barat, Indonesia
- Pendidik di Bizsmart School Depok
Labels
Featured Posts
Archive for 2014
Andai Semua Guru seperti Mario Teguh
Awalnya saya adalah
orang yang tidak menyukai motivator. Saya menganggap mereka hanya menjual
kata-kata belaka. Menurut hemat saya, belajar dari seorang yang telah sukses
dan telah menjalani kerasnya hidup tentu lebih bermakna ketimbang mendengarkan
orasi seorang motivator.
Belakangan saya
menyadari bahwa menjadi seorang motivator bukanlah hal yang mudah. Dan ternyata
menjadi motivator adalah pekerjaan yang mulia. Motivator mampu mengubah sudut
pandang seseorang dalam melihat masalah. Motivator seolah mampu memberikan
solusi hampir tiap masalah yang dialami orang lain.
Banyak sekali
motivator terkenal di Indonesia, salah satunya Mario Teguh. Pada judul tulisan
ini saya menulis, “Andai semua guru seperti Mario Teguh.” Bukan berarti saya
berharap semua guru menjadi tua dan botak mirip dirinya, hehe. Namun saya menjadikan
sosoknya sebagai metafora atas peran motivator seorang guru.
Saya pernah
mengikuti seminar mengenai kurikulum 2013 (K13) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa dalam K13 peran utama seorang
guru adalah sebagai motivator. Melalui peran tersebut diharapkan guru dapat
menanamkan nilai-nilai positif dalam diri anak didiknya. Sehingga tercapai
tujuan dari K13, untuk menciptakan insan berkarakter positif.
Seperti kita
ketahui dewasa ini, krisis moral melanda sebagian pelajar Indonesia. Tak
terhitung banyaknya kasus dan kejadian yang membuat kita miris dan mengelus
dada. Saya tak ingin menyebutkannya karena sebagai pendidik saya malu untuk
ikut bertanggung jawab atas hal tersebut.
Tugas utama seorang
guru adalah mendidik, bukan mengajar. Coba saja perhatikan, di Indonesia tidak
ada Kementerian Pengajaran yang ada adalah Kementerian Pendidikan. Bahkan
hampir tidak ada satu pun instansi yang menggunakan kata “pengajaran” sebagai
namanya. Lalu apa bedanya mendidik dan mengajar?
Sederhananya
mendidik adalah memanusiakan manusia, sedangkan mengajar adalah memindahkan
ilmu dari guru ke murid. Mendidik bermakna jauh lebih luas dibanding mengajar.
Mendidik lebih mengutamakan pembentukan karakter anak didik bukan hanya sekedar
memindahkan ilmu. Dan itulah yang seharusnya dilakukan seorang guru masa kini.
Untuk mendidik
seorang guru perlu memiliki kemampuan memotivasi. Ia harus belajar dari
motivator/trainer. Kemampuan ini
sangat penting sehingga semua guru di Indonesia harus memilikinya. Bayangkan
jika semua guru memiliki kemampuan seperti Mario Teguh atau setidaknya
mendekati kemampuannya, pasti tidak akan ada anak sekolah yang terkena kasus
narkoba, tawuran, atau seks. Andai saja semua guru memiliki kemampuan itu,
tidak akan ada lagi pelajaran yang membosankan di kelas sehingga anak didik
memiliki kesadaran akan kewajiban belajarnya.
Ya memang berandai-andai
itu mudah dan menyenangkan. Namun, setidaknya gagasan itu akan timbul dari
kreatifitas harapan. Tinggal bagaimana kita sebagai pendidik mau mewujudkannya.
Seperti kata orang kebanyakan, “dimulai dari diri sendiri.”
Semoga semakin
banyak pendidik di Indonesia yang memiliki kemampuan seperti Mario Teguh atau
motivator lainnya. Semoga semakin banyak guru yang mau belajar memotivasi dan
semakin sedikit guru yang hanya hobi mengajar.
Djoko Kentjono: Master of Arts yang Rendah Hati.
Dari namanya saja kita sudah akan tahu kalau dia tentu
lahir kala ejaan lama masih digunakan. Ya, Anda bisa menebak berapa usianya
sekarang. Beberapa hari yang lalu saya bertemu beliau dan menanyakan usianya.
Ternyata sudah menginjak 79 tahun. Bahkan 10 tahun lebih tua dari republik ini.
Di usianya yang sudah 79 tahun, beliau tetap terlihat
segar. Bolak balik naik turun tangga fakultas adalah hal yang biasa. Bahkan tak
jarang beliau berjalan kaki dari rumahnya di komplek dosen UI sampai ke UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang jaraknya kurang lebih 2 km.
Beliau sampai saat ini masih aktif mengajar di Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengajar tiga kelas, mata kuliah
Morfologi. Bahkan beliau juga menjadi dosen pembimbing bagi tiga mahasiswa
tingkat akhir. Luar biasa bukan? Ketika saya tanya padanya mengapa masih terus
mengajar, ternyata jawabnya sederhana saja. “Supaya tidak banyak yang lupa.”
Ah, betapa cintanya beliau akan ilmu linguistik, sampai enggan melepaskannya
dari pikirannya—ingat usia beliau 79 tahun.
Saya sempat terkejut ketika beliau bercerita tentang
hobinya bermain tenis. Sampai usia 75, beliau tetap aktif bermain tenis—ini
luar biasa. Lalu beliau juga berkata, “kalau sekarang sudah capek bermain
tenis, tak seperti dulu.” Saat ini beliau tinggal sendiri di rumahnya, istrinya
sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Sering kali anak-anaknya yang telah
berumah tangga datang untuk menemaninya. Hati saya tersentuh, di usia yang
begitu senja beliau sangat mandiri. Mengurus semuanya sendiri, mulai dari
hal-hal rumah tangga sampai urusan perkuliahan.
Pak Djoko Kentjono pernah berkuliah di Texas—saya lupa
nama universitasnya. Beliau berhasil meraih beasiswa penuh untuk menyelesaikan
studi magisternya. Sepulangnya dari Amerika beliau mengajar di Universitas
Indonesia sampai usianya 55 tahun. Kalau Anda mengenal Harimurti Kridalaksana
atau Achmad H.P., mereka adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswanya yang
saat ini telah menjadi Profesor Linguistik.
Meski begitu beliau sangat rendah hati. Tak jarang
beliau menundukkan badannya meski kepada orang yang lebih muda. Beliau selalu
menanggapi dengan ramah setiap mahasiswa yang hendak berbincang dengannya. Kemeja
putih lengan pendek dan celana pentalon krem adalah pakaian khasnya. Saya
sendiri belum pernah melihatnya mengenakan warna kemeja selain warna putih.
Benar-benar pribadi yang sederhana.
Pria kelahiran Sragen ini saat ini telah memiliki dua
orang cucu dari kedua anaknya. Beliau sempat bercerita kepada saya kalau
dirinya tak bisa menulis panjang, hanya sampai beberapa halaman saja.
Katanya,”Ya, kalau masalahnya sederhana kenapa harus ditulis panjang-panjang?”
Kemudian ia menambahi seraya tertawa,”Makanya saya heran sekali melihat tesis
saya, kok bisa ya saya menulis sepanjang itu?” Saya ikut tertawa.
Dulu ketika menulis skripsi entah bagaimana caranya
saya harus bisa lebih dari target yang ditetapkan fakultas. Sehingga jadilah
masalah sederhana yang harusnya bisa ditulis hanya 20 halaman, mekar hingga 70
halaman. Seandainya saja skripsi tak perlu berpuluh-puluh halaman. Haha.
Pak Joko, begitu orang-orang menyebutnya. Awalnya saya
mengira beliau keturunan Cina, karena matanya sipit dan kulitnya putih. Ternyata
beliau orang Jawa asli. Pak Joko seharusnya dijadikan teladan oleh semua
mahasiswa dan dosen. Beliau adalah inspirasi saya. Semangat saya untuk terus
bisa menjadi manusia yang rendah hati dan sederhana. Semangat saya untuk terus
belajar sepanjang hayat. Semangat saya untuk mencintai ilmu. Semangat saya
untuk bisa terus sehat di usia senja. Dan semangat saya untuk mengejar
beasiswa.
Mimpi Pendidikan Berkarakter dan Miris Nasib Guru
Masalah
karakter kian naik daun sekarang ini. Apalagi dengan lahirnya Silabus dan RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) “Berkarakter.” Siswa-siswa kita dituntut
menjadi insan berkarakter positif dengan alatnya berupa Silabus dan RPP. Makin
terbebanilah mereka. Penguasaan terhadap—minimal—10 mata pelajaran wajib,
tuntutan harus mendapat nilai baik dari orang tua, sekarang ditambah pula
menjadi insan berkarakter.
Tentu
bukan hanya siswa yang pusing, ini pun menjadi tambahan pekerjaan bagi orang
yang telah “mengorbankan” diri berprofesi guru. Betapa repotnya seorang guru
yang setiap hari “kudu” dan wajib membuat RPP minimal sebanyak dua halaman,
berceloteh minimal di tiga kelas berbeda perharinya dengan jumlah siswa minimal
30 orang, harus ditambah pula menjadikan siswa-siswanya insan berkarakter.
Menciptakan
insan berkarakter tidaklah semudah mencatumkan “karakter yang diharapkan” pada
kolom akhir Silabus atau RPP. Untuk menciptakan insan berkarakter tentunya
seorang guru haruslah tuntas karakternya. Seorang pencipta sudah sepatutnya
lebih baik dari ciptaannya. Bukan hanya itu, seorang guru harus sanggup
memantau terus-menerus setiap siswanya. Guru harus memahami masalah siswanya
secara detil dan menanamkan nilai-nilai positif dalam diri mereka secara
perlahan. Ada kalanya ketika guru telah berhasil menanamkan satu nilai positif,
muncul dua nilai negatif dalam diri mereka atas pengaruh lingkungannya.
Kemungkinan lain adalah naik turunnya karakter mereka, disebabkan
keremajaannya. Sehingga mereka belum mampu konsisten dengan karakter tersebut.
Sekarang
Anda bayangkan jika seorang guru/wali kelas bertanggung jawab terhadap 40 siswa
saja. Betapa banyak masalah yang harus mereka tangani. Seperti yang sering
disampaikan para ahli, “tiap siswa adalah individu-individu yang unik.” Mereka
bukan hanya akan menangani 40 masalah saja tapi bisa lebih dari itu karena tiap
siswa bisa saja memiliki lebih dari satu masalah. Tidak mungkin mereka sanggup
menangani masalah-masalah itu sendirian. Ingin meminta bantuan guru BK namun hanya
ada beberapa guru BK di sekolah yang jumlah siswanya mencapai 300 orang. Ingin
berkonsultasi pada kepala sekolah, hanya ada satu kepala sekolah dan ia pun
terlalu sibuk mencari dana bantuan. Akhirnya guru pun memilih bersikap apatis
terhadap perkembangan karakter dan masalah siswanya. Mereka hanya datang,
mengajar, memberi tugas, dan pulang. Lalu muncullah paradigma-paradigma negatif
dari guru, “kami tidak dibayar untuk mengurus karakter siswa, kami hanya
dibayar untuk mengajar, itupun dengan bayaran yang memprihatinkan,” “mengurus
keluarga kami saja sudah membuat pusing, apalagi ditambah mengurus anak orang
lain yang bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan kami.”
Guru itu
adalah tonggak kemajuan sebuah bangsa! Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom
atom oleh Amerika, hal yang pertama ditanyakan oleh PM Jepang saat itu adalah,
“berapa jumlah guru yang tersisa?” Negeri Matahari Terbit itu benar-benar paham
bahwa negaranya boleh hancur berkeping-keping, daun-daun boleh berguguran,
namun tunas-tunas baru harus terus tumbuh. Dan tunas-tunas itu ada di tangan
mereka, GURU. Wajarlah jika saudara tua kita itu lebih maju 50 tahun dibanding
Indonesia.
Lalu bagaimana
mungkin seorang guru bisa menciptakan insan berkarakter jika mereka masih harus
memikirkan cara memperoleh beras untuk beberapa minggu ke depan karena gaji
mereka hanya bertahan di permulaan bulan? Bagaimana mungkin mereka bisa
menciptakan insan berkarakter jika emosi dan nafsu masih menguasai mereka?
Bukan akhlakul karimah yang mereka tunjukkan malah sebaliknya.
Siswa
yang berkarater tidak bisa diciptakan secara instan, seperti memasak mie.
Banyak faktor eksternal dan internal dari siswa yang sangat mempengaruhi
perkembangan mereka. Lingkungan pergaulan yang tidak sehat, pola pikir peniru
kebudayaan asing, dan lemahnya pendidikan agama merupakan secuil persoalan yang
dihadapi siswa sekarang ini. Diperlukan sinergi yang baik antara guru dengan
orang tua untuk terus memantau dan memandu siswa agar tetap pada rel yang
benar.
Pemerintah
perlu meningkatkan kesejahteraan guru secara MERATA. Dengan begitu guru
benar-benar akan menjadi profesi yang profesional bukan hanya profesi pelarian.
Banyak orang akan tertarik menjadi guru sehingga besar peluang bagi sekolah
untuk melakukan seleksi, siapa yang sesungguhnya pantas disebut guru. Ciptakan
lagi Sekolah Keguruan dengan seleksi ketat mencakup aspek IQ, EQ, dan SQ.
Dengan begitu akan terlihat siapakah yang benar-benar berminat dan pantas
menjadi guru. Hapuskan mata pelajaran yang TIDAK PENTING di sekolah, sehingga
murid lebih fokus pada minat mereka. Bukan hanya dijejali dengan 13 teori dari
13 mata pelajaran yang berbeda dan tidak mereka sukai. Berikan siswa kesempatan
seluas-luasnya untuk menekuni minat mereka dan tanamkan budi pekerti melalui
pendidikan agama.
Sudah saatnya
kita semua berbenah diri agar wacana menciptakan siswa yang berkarakter tak
seperti peribahasa, “jauh panggang dari api.” Saatnya mewujudkan mimpi itu dan
menghapus kata miris yang identik dengan profesi keguruan.
Mengubah Tradisi Rubah
Sekarang kata rubah sedang naik daun. Bagaimana tidak,
orang semakin sering menggunakan kata tersebut untuk mengganti kata ubah. Dalam bahasa lisan banyak orang
lebih nyaman menggunakan kata dirubah atau merubah ketimbang kata diubah atau
mengubah. Kebiasaan menggunakan kata rubah
dalam bahasa lisan akhirnya membawa kata tersebut ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu bahasa tulisan—artinya terjadi peningkatan stadium dari awalnya hanya
keliru sekarang menjadi salah. Kesalahan tersebut juga telah menjangkiti
berbagai tulisan di media massa cetak sampai judul berita di televisi. Bahkan
saya beberapa kali membaca tulisan di buku pengetahuan menggunakan kata dirobah
dan perobahan.
Kekeliruan ini sebenarnya
disebabkan oleh penggunaan kata “berubah.” Orang sudah terbiasa dengan
pelafalan kata tersebut sehingga mereka mengira bahwa kata dasarnya adalah “rubah.”
Padahal kita semua tahu bahwa rubah adalah nama hewan. Kata dasar yang benar
adalah ubah yang kemudian ditambahkan
prefiks ber-, bukan kata rubah yang
ditambahkan prefiks be-. Sedangkan mengenai kekeliruan kata robah saya belum mengetahui sebabnya.
Tampak sepele memang
karena hanya berbeda pelafalan saja, lagi pula orang sudah tahu maksud kata
tersebut. Namun kekeliruan yang sepele jika dibiasakan akan menjadi kesalahan
dan membiasakan kesalahan berarti kita menjadi manusia yang berkarakter salah
sehingga kita tidak lagi tahu mana yang benar. Kasus ini mirip dengan
penggunaan kata graha yang seharusnya
ditulis grha. Graha dalam bahasa Sanskerta berarti buaya sedangkan grha berarti rumah. Lalu menurut Anda
apa arti tulisan ini: 1.Graha Bhakti Budaya dan 2. Graha Indah Permai?
Kesalahan sepele ternyata menghasilkan makna yang jauh berbeda.
Manusia adalah masyarakat
bahasa yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan
mengidentifikasi diri. Sebagai masyarakat bahasa tentunya manusia harus setia
terhadap kaidah bahasa yang dianutnya. Bentuk kekeliruan seperti di atas adalah
wujud penghianatan bahasa—dalam kasus ini Bahasa Indonesia. Mengapa? Karena
dengan terus-menerus melakukan kekeliruan tersebut kita akan membunuh kata ubah, menggantinya dengan kata rubah dan menggantinya lagi dengan kata robah. Anak cucu kita tidak akan lagi
mengenal adanya kata ubah.
Itu hanyalah sedikit kasus
yang hanya melibatkan satu kata saja, masih banyak wujud penghianatan bahasa yang
dilakukan masyarakat bahasa. Seperti penggunaan bahasa “alay” atau pemindahan
bahasa lisan (bahasa percakapan sehari-hari) ke bahasa tulis tanpa mengikuti kaidah
penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Belum lagi penulis-penulis buku
yang “katanya” sastrawan tapi bahasa tulisnya berantakan. Malangnya nasib
Bahasa Indonesia terus dikhianati penuturnya.
Lalu akankah kata ubah lenyap dan digantikan hewan rubah, bahkan berubah lagi menjadi robah? Jawabnya ada pada tindakan kita,
sudikah kita mengubah kebiasaan keliru tersebut? Sudikah kita sebagai
masyarakat bahasa untuk setia terhadap kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan
benar? Mari jauhkan Bahasa Indonesia dari ambang kepunahan bahasa. Ini bukanlah
semata-mata tugas guru Bahasa Indonesia, sastrawan, editor bahasa atau siapapun
yang bergelut di bidang bahasa, namun tugas masyarakat bahasa sebagai penutur
Bahasa Indonesia.
Resensi Film A Long Visit
RESENSI FILM A LONG VISIT
Film
ini dirilis pada tanggal 22 April 2010 dengan durasi 108 menit dan disutradarai
oleh Yong Suu Yup. Naskah film ini ditulis oleh Jang Hye Sun dan Kyo Hye Jong. Film
ini juga dikenal dengan judul My Mom. Film yang pernah diputar pada 2010 (14th)
Puchon International Fantastic Festival ini dibintangi oleh artis Korea yaitu
Kim Hae Suk sebagai Ibu dan Park Jin Hee sebagai Jisuk.
Awalnya
saya ditawari tiga film untuk didiskusikan dalam rangka perayaan hari Ibu yaitu
Cut Nyak Dien, 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita, dan A Long Visit. Semenjak awal saya
sudah ragu untuk menonton film ini karena saya tidak menyukai film Korea. Namun
dua film yang lain juga tidak terlalu menarik perhatian saya, akhirnya dengan
semangat setengah hati saya tonton juga film ini.
Film
ini diceritakan dengan alur campuran. Alur yang menceritakan kejadian sebelum
terjadinya sebuah peristiwa kemudian setelah peristiwa itu masih ada peristiwa
baru yang ditampilkan. Temanya sederhana yaitu kasih Ibu tak terhingga. Melalui
tema yang sederhana ini ditampilkan kisah-kisah lucu sekaligus mengharukan.
Hubungan
yang unik antara Ibu yang keras kepala dan cerewet dengan anak perempuannya
yang pemarah disajikan dengan dialog-dialog konyol yang membuat cerita tidak
hambar. Namun dialog-dialog konyol ini tidak serta-merta mengurangi suasana
haru yang dibangun semenjak awal pada film ini.
Peristiwa-peristiwa
dalam film ini tidak dibuat-buat dan tidak berlebihan. Ketika menontonnya saya
jadi terkenang beberapa peristiwa yang memang benar-benar saya alami. Hal ini
tentu tidak dialami oleh saya saja, mereka yang menonton film ini tentu
mengalaminya juga karena peristiwa-peristiwa dalam film ini ditampilkan secara
natural. Penulis naskahnya sangat peka merekam sekitarnya hingga berhasil
membuat naskah ini.
Kasih
sayang mendalam sang Ibu terhadap anak perempuannya dalam film ini ditunjukkan
semenjak ia kecil sampai sang anak menikah dan memiliki seorang putri. Begitu
banyak adegan-adegan yang menunjukkan dalamnya kasih sayang sang Ibu kepada
anak perempuannya (Jisuk). Ibu dalam film ini adalah sosok seorang motivator,
pembela, selalu ada untuk anaknya, rela berkorban, dan pelindung.
Sosok
motivator ditunjukkan ketika Jisuk kecil susah BAB, Ibunya memotivasinya untuk
mengejan. Kemudian ketika Jisuk melahirkan, Ibunya berteriak-teriak dari luar
ruang melahirkan untuk memotivasi anaknya. Sifat pembela ditunjukkan ketika
Jisuk diejek oleh tetangganya bahwa ia tidak layak muncul di televisi dan
ketika Jisuk dihina oleh calon mertuanya. Ibunya menunjukkan pembelaan dengan
membanggakan kelebihan anaknya.
Ibu
adalah sosok yang selalu ada untuk Jisuk bahkan ketika Jisuk telah berumah
tangga Ibunya sempat berkata, “jika saja rumahmu dekat pasti Ibu akan selalu
datang kesana untuk bersih-bersih.” Ucapan lain dari sang Ibu yang membuat
terharu adalah “Datanglah ketika sedih, Ibu akan mendengarmu meski tidak bisa
menyelesaikan masalahmu.”
Sikap
Ibu yang rela berkorban ditunjukkan pada berbagai adegan di film ini dan yang
paling teringat dalam benak saya adalah ketika Ibunya menyisihkan uang
belanjanya dengan menawar sayur semurah mungkin agar uangnya bisa dikumpulkan
dan diberikan pada anaknya untuk bekal kuliah nanti, ia sampai rela bertengkar
denga tukang sayur untuk mendapat harga yang murah. Adegan lainnya yaitu ketika
sang Ibu rela memohon-mohon kepada calon besannya untuk menerima anaknya
sebagai menantunya karena ia tahu bahwa Jisuk begitu mencintai laki-laki itu dan
tidak dapat bahagia tanpanya. Ucapan Jisuk tentang Ibunya yang tak dapat saya
lupakan adalah “Saat aku menangis Ibu menangis lebih keras dariku.”
Ibu
adalah sosok pelindung, ia tidak mau melihat anaknya dipukul atau dimarahi oleh
ayahnya. Bahkan sang Ibu hendak melindungi anaknya dari hal yang tak mungkin
yaitu kematian. Ibunya rela menggantikan posisi anaknya, ia juga meyakinkan
pada sang anak bahwa anaknya tidak akan meninggal mendahuluinya. Kasih sayang
terlalu dalam ternyata mampu menyebabkan seseorang khilaf akan hakikatnya
sebagai manusia.
Namun
bentuk kesempurnaan kasih sayang sang Ibu terasa cacat karena pada film
tersebut sang Ibu yang memiliki dua anak hanya memperhatikan anak perempuannya
saja. Pencitraan yang diperoleh dari film tersebut yaitu kasih sayangnya pada
anak perempuannya jauh melebihi kasih sayangnya pada anak laki-lakinya. Padahal
sebagai orang tua ia harusnya bersikap adil dalam membagi kasih sayangnya.
Hal
lain yang perlu mendapat perhatian adalah sikap Ayah kepada sang Ibu dan
anaknya. Pada bagian awal cerita terlihat karakter Ayah yang keras dan sering
memukuli istrinya. Ia nampak seperti tokoh antagonis. Namun sikap ini berubah
di tengah cerita. Sang Ayah yang dulunya dikenal kasar berubah menjadi pendiam,
bahkan terkesan takut pada istrinya. Perubahan karakter yang begitu drastis ini
menjadi kelemahan film tersebut.
Melalui
sosok Ayah dari film ini juga dapat diambil pelajaran bahwa meskipun Ayah
sering terlihat tidak peduli terhadap keluarganya namun ternyata ia menyimpan
kasih sayang dan perhatian yang begitu dalam. Hanya cara mengungkapkannya saja
yang berbeda. Sosok Ayah selalu ingin terlihat kuat di depan keluarganya karena
Ayah adalah tempat bersandar, ia adalah pelindung, ia tidak boleh menangis di
depan keluarganya seberat apapun kesedihan yang ditanggungnya. Saya pikir
hampir semua Ayah di dunia memiliki sikap seperti ini. Ketika kematian Ayahnya,
Jisuk berkata:
“Aku
kira aku tidak menyukai Ayahku, Aku kira aku membenci Ayahku, Aku kira aku
tidak mempunyai kenanga tentang Dia dan aku tidak merindukannya”
Ucapan
tersebut adalah bentuk penyesalan Jisuk atas sikapnya selama ini terhadap
ayahnya. Ia baru merasakan bahwa Ayahnya begitu menyayanginya ketika sang Ayah
telah tiada. Film ini meskipun ingin menceritakan tentang kasih sayang Ibu
terhadap anaknya namun tidak melupakan sosok Ayah. Sosok Ayah yang awalnya
ditempatkan antagonis, pada saat kematiannya justru dirindukan dan ditangisi.
Selain
ceritanya yang natural, keunggulan lain dari film ini adalah penyelesaiannya
yang mengejutkan. Saya pikir bahwa Ibunya yang akan meninggal lebih dulu
ternyata justru Jisuk yang terkena kanker dan meninggal. Sebuah akhir yang
mengejutkan dan tentunya tidak bertendensi dengan film-film pada umumnya.
Pesan
utama yang ingin disampaikan melalui film ini tentu sudah jelas terbaca oleh
penonton. Salah satunya melalui kalimat berikut, “Janganlah kasar pada Ibumu,
jadilah lembut selagi bisa, jangan sampai kau menyesal!” Sejalan dengan pesan
Rasullullah Saw, homatilah ibumu, ibumu, dan ibumu, jangan pernah berkata ‘ah’
kepadanya. Pesan lain yang harus kita yakini adalah jauhkan diri dari perasaan memiliki
yang berlebihan, karena semua hanyalah titipan yang suatu saat akan diambil
kembali oleh Yang Maha Memiliki.
Akhirnya
saya menyatakan film ini layak untuk ditonton namun tetap perlu memperhatikan
segi-segi tertentu. Sebagai penonton yang cerdas kita tidak boleh menelan
bulat-bulat sebuah gagasan karena gagasan tersebut belum tentu benar. Sikap
kritis sangat diperlukan untuk menghadapi setiap gagasan tersebut.