- Back to Home »
- Politik itu Licik, Sastra itu Merdeka?
Posted by : Septian Cahyo Putro
Rabu, 03 April 2013
Politik
itu Licik, Sastra itu Merdeka?
Politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan
atau kenegaraan (seperti tata sistem pemerintahan, dasar pemerintahan)/segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain. Pengertian itulah yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Manusia adalah insan politik yang tak dapat terlepas
dari hal tersebut. Jika bukan subjek politik ia pasti menjadi objek politik.
Oleh karena itu, politik tidak bisa dihindari oleh siapapun. Hal yang benar
bukan menghindar dari politik tapi menciptakan politik yang sehat.
Paradigma negatif tentang politik harus dihapuskan dari
semua generasi maupun kalangan. Politik tidak licik tapi pelaku politiklah yang
sering membuat kelicikan dalam politik, menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuannya. Para oknum politik itulah yang pada akhirnya mengukir paradigma
negatif di kalangan masyarakat mengenai politik sehingga banyak dari mereka
yang mengatakan, “ah saya ga percaya sama politik!”
Selanjutnya mengenai sastra, apakah benar sastra itu
merdeka? Saya rasa tidak. Begitu banyak kekangan dan aturan mengenai sastra
yang baik, sastra yang indah, sastra yang dulce
et utile. Begitu banyak buku-buku mengenai teori sastra yang membatasi pemaknaan
seseorang terhadap sastra. Dan banyak pula para Mpu atau Mbah Sastra barangkali
yang menentukan sabdanya bahwa yang ini bagus, yang ini jelek.
Dalam bersastra, baik itu hanya sebagai pencipta atau
sekedar penikmat seharusnya kemerdekaanlah yang harus dijunjung tinggi. Merdeka
dalam artian bebas untuk mencipta dan bebas untuk memberi makna, karena dua
konvensi yang harus dipegang teguh yaitu the
author is god and the reader is god.
Sastra adalah bahasa kehidupan, dengan sastra seorang
berusaha mengekspresikan kesannya. Kesan adalah milik pribadi pengarang, cara
pengungkapannya pun terserah pengarang, jadi kalian yang ingin menulis sastra,
tulislah. Jangan takut untuk menulis. Tulis saja apa yang ada dipikiranmu,
tidak akan ada yang salah, karena kaulah Tuhannya.
Lalu politik dan sastra? Sastra sering kali dijadikan
media dalam berpolitik. Pada zaman Balai Pustaka dan orde lama dulu sastra
sering dilarang beredar karena mengandung paham politik yang berbahaya bagi
kelangsungan pemerintah (menurut para pengecut di balik meja kuasanya). Sebut
saja karya Abdul Muis yang sempat ditahan Balai Pustaka selama satu tahun
karena menjelek-jelekkan keturunan Belanda atau karya-karya Pramoedya Ananta
Toer yang dimusnahkan! Karena disangka mengandung paham komunis.
Namun ternyata pelarangan itu justru membuat pamor
karya sastra semakin meningkat di kalangan pembaca. Saya pikir inilah salah
satu manfaat yang diberikan politik terhadap sastra. Semakin dilarang, semakin
dicari! Sastra menyuarakan kebebasan dan politik berusaha mencari-cari
kebebasan itu. Kalau begitu sastra dan politik saling membutuhkan.