- Back to Home »
- Analisis drama Kejahatan Membalas Dendam karya Idrus
Posted by : Septian Cahyo Putro
Rabu, 03 Oktober 2012
Ekspresi Kepercayaan Idrus terhadap Janji Nippon dalam Drama Kejahatan Membalas Dendam
Oleh: Septian Cahyo P.
Idrus adalah salah seorang sastrawan yang berperan
sebagai pelaku sejarah. Ia ikut merasakan masa-masa penjajahan Jepang sampai
masa setelah Indonesia merdeka. Ia menuangkan segala peristiwa sejarah yang
dialaminya dalam cerpen-cerpennya. Tapi yang menarik adalah Idrus menceritakan
sejarah bukan seperti pengarang lainnya. Ia menceritakan sejarah dengan
mengkriktik bangsanya sendiri. Ia menyuguhkan kebenaran dengan cara mengungkap
keburukan dari bangsanya.
Salah satu karya Idrus yang mengkritisi bangsanya
yaitu drama Kejahatan Membalas Dendam.
Adapun tema utama dari drama tersebut adalah cinta segitiga, antara Ishak,
Satilawati, dan Kartili. Ciri khas Romantik Idrus masih sangat kental pada
drama ini sama halnya ketika ia menulis cerpennya Ave Maria. Cerpen yang pernah dicekal oleh Keimin Bunka Shidoso
atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang dengan alasan judulnya yang terlalu
kebarat-baratan.
Dalam Kejahatan
Membalas Dendam Idrus menceritakan mengenai hubungan cinta antara Ishak dan
Satilawati yang tidak direstui oleh ayah dari Satilawati. Salah satu penyebab
ayahnya tidak menyetujui hubungan mereka adalah karena Ishak seorang penulis
muda. Ia mencoba menghadirkan sebuah kebaruan dalam dunia kesusasteraan
Indonesia melalui karya-karyanya. Ayah Satilawati yang juga seorang penulis
dari golongan lama tidak menyetujui pemikiran Ishak. Ia kemudian menggugat
karya Ishak sebagai karya yang tidak bermutu. Ishak yang merasa tertekan pergi
ke desa meninggalkan Satilawati. Di sisi lain, Kartili yang ternyata juga
menyukai Satilawati melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan
cintanya.
Ketika di desa Ishak menjadi lebih giat bekerja di
sawah, demi hasil padi yang melimpah untuk disetorkan kepada pemerintah. Ishak
juga berhasil membuat penduduk desa tidak segan lagi menyerahkan berasnya
kepada pemerintah guna keperluan perang. Singkat cerita hubungan Ishak dengan
Satilawati akhirnya direstui oleh ayahnya berkat bantuan dari sang nenek
Satilawati yang begitu besar jasanya. Kartili menjadi gila karena tekanan batin
yang dialaminya.
Melalui dramanya ini Idrus ingin menggambarkan
betapa pertentangan antara golongan tua dan muda selalu dimenangkan oleh
golongan muda. Terlihat dari kutipan berikut:
“Dan
dunia selalu membuktikan, bahwa pemudalah yang selalu menang dalam
perjuangannya dengan angkatan lama.”(Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, hlm. 71)
Kutipan diatas merupakan perkataan Ishak kepada ayah
Satilawati. Ia menyadarkannya bahwa angkatan baru hanya membutuhkan penghargaan
dari angkatan lama, tidak lebih. Angkatan baru tidak pernah memaksa angkatan
lama untuk menulis dengan gaya yang baru. Masing-masing memiliki kewajibannya
sendiri, angkatan lama bertugas mempertahankan tradisinya, angkatan baru
berusaha untuk mencari yang baru.
Melalui dramanya ini Idrus ingin membela angkatan
baru termasuk dirinya, agar jangan takut “dimusuhi” oleh angkatan lama. Sejalan
dengan pemikiran Chairil Anwar yang menganggap sajak-sajak Sutan Takdir
Alisjahbana ketinggalan zaman. Ia bersama dengan Charil Anwar seolah ikut
mengobarkan semangat untuk menciptakan suatu kebaruan dalam kesusateraan
Indonesia. Seperti apa yang diungkapkan H.B. Jassin, “zaman Jepang melahirkan Chairil Anwar dan Idrus, masing-masing
pembaharu puisi dan prosa...”
Aspek lain yang kiranya penting untuk mendapat
perhatian adalah ekspresi kepercayaan Idrus kepada pemerintah Nippon yang
dilukiskan dalam Kejahatan Membalas
Dendam. Awalnya memang sulit untuk dibuktikan keberpihakkan Idrus terhadap
Nippon, jika hanya melihat cerpennya Ave
Maria. Namun, dalam dramanya ini sangat terasa bagaimana pembelaan Idrus
terhadap Nippon. Pembelaan-pembelaan tersebut dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Tiga
tahun sudah Nippon di Indonesia. Selama ini kami hanya sebagai parasit. Jika
ada keuntungan bagi kami, kami mendekat kepada pemerintah sebagai ayam diberi
makan. Akan tetapi, jika tenaga harus dikerahkan, kami menjauh sebagai kucing
dibawakan lidi, tetapi semua itu telah berakhir.....Dan serentak kami
menceburkan diri ke dalam barisan ‘Prajurit Pembela Tanah Air’.” (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma,
hlm. 42)
Kutipan di atas merupakan kutipan cerita yang
dibacakan Asmadiputera kepada Suksoro yang ditulis oleh Ishak. Cerita
tersebutlah yang dipandang tidak bermutu oleh Suksoro sebagai penulis golongan
lama.
Melalui kutipan diatas terlihat bagaimana Idrus
masih terpedaya dengan janji manis Nippon dengan slogan 3A-nya. Idrus
benar-benar menganggap bahwa Nippon datang ke Indonesia sebagai saudara yang
akan membawa bangsa ini menuju zaman yang terang. Padahal telah tertulis di
buku-buku sejarah, tentang penderitaan rakyat Indonesia di bawah penjajahan
Jepang yang hanya 3,5 tahun tidak kalah pedihnya dibandingkan penderitaan
dijajah Belanda selama 3,5 abad.
Kutipan lain yang dapat memperkuat argumen ini
yaitu:
“Tentang
penyerahan padi. Mengapa mereka harus menyerahkan padi kepada pemerintah, bahwa
mereka harus bergiat menanam padi dan menyerahkannya. Untuk perang, untuk
kemenangan akhir kataku...” (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, hlm. 58)
Kutipan diatas adalah perkataan Ishak kepada segenap
penduduk desa yang sedang memanen padi di sawah. Perkataan tersebut tidak
dimengerti oleh penduduk desa yang berbahasa Sunda karena menggunakan bahasa
Indonesia. Akhirnya Ishak menceritakan hal ini kepada sang nenek, dan nenek itu
pun tahu apa yang harus ia lakukan.
Dalam kutipan di atas Idrus bicara tentang
penyerahan padi untuk perang. Pertanyaannya adalah perang dengan siapa?
Bukankah musuh yang sebenarnya adalah Nippon? Nippon benar-benar pandai dalam
memutar balikkan fakta. Mereka membuat propaganda-propaganda agar rakyat mau
tunduk kepada Nippon. Rakyat Indonesia disuruh masuk kepada barisan jibaku,
mereka harus menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah, semua demi
kepentingan Nippon dalam berperang melawan sekutu.
Di akhir cerita Idrus melukiskan semangat Ishak
dalam bekerja sebagai petani. Ini merupakan bentuk simbolik Idrus yang
menganjurkan rakyat Indonesia agar bekerja keras demi kepentingan Nippon,
karena hasil panen akan diserahkan kepada pemerintah untuk ‘biaya’ perang.
Dalam karya Idrus ini terdapat unsur ‘sastra
propaganda’, yang tujuannya mengubah pandangan atau paradigma rakyat Indonesia
terhadap pemerintah Nippon. Tapi untunglah Idrus tidak berlarut-larut dalam
kegelapan ini, sehingga pada karya-karya selanjutnya tidak lagi berisi
propaganda atau pembelaan terhadap Nippon. Ia lebih mengedepankan kritik
terhadap bangsanya setelah kemerdekaan, yang terlalu terlena akan euforia kemenangan.
Penulis