- Back to Home »
- “Yang Menang dan Yang Kalah” dalam Datangnya dan Perginya Karya A.A. Navis
Posted by : Septian Cahyo Putro
Jumat, 01 Maret 2013
Nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir di Padang
Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 November 1924. Navis memulai karir
penulisannya ketika berumur tiga puluhan. Karyanya banyak dimuat di beberapa
majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia,
Budaya, dan Roman. Tema-tema yang
muncul dalam karya-karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan
keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau.
Navis terkenal sebagai sastrawan ironi bahkan
sarkasme, karena karya-karyanya yang menyindir kehidupan sosial-agama masyarakat
yang terlalu kaku atau terlalu primitif.
Salah satu karyanya yang akan saya angkat dalam pembahasan kali ini
adalah cerpennya yang berjudul Datangnya
dan Perginya. Cerpen tersebut memiliki klimaks yang menarik yaitu konflik
batin tokoh-tokohnya. Konflik tersebut diakibatkan belenggu kebenaran,
kebahagiaan, dan keimanan. Konflik batin itulah yang menjadi nafas cerita ini.
Garis besar dari cerpen Datangnya dan Perginya yaitu diawali dengan kemunculan tokoh ayah
Masri yang menerima surat dari anak lelakinya yang dahulu pernah diusirnya.
Masri diusir oleh ayahnya karena memergoki sang ayah sedang berkencan dengan
pelacur. Namun akhirnya sang ayah sadar akan perbuatannya. Ia sadar telah gagal
menjadi seorang ayah dan menjadi marbot. Masri telah berhasil menyadarkan sang
ayah dengan perkataan yang menyentuh hati sang Ayah sebelum kepergiannya.
Singkat cerita Masri telah berkeluarga dan menikah
dengan seseorang yang bernama Arni. Ia kemudian mengajak ayahnya untuk tinggal
bersamanya. Sang ayah merasa terharu sekali dengan ajakan anaknya. Anak yang
telah diusir dan ditamparnya, tidak menyimpan dendam sama sekali kepada
ayahnya. Akhirnya ayah Masri pergi ke rumah anaknya, disana ia bertemu Iyah,
seseorang yang dikenalnya sebagai mantan istrinya. Iyah memberi tahu ayah Masri
bahwa Arni adalah saudara kandung Masri, tapi Iyah tidak tega menghancurkan
kebahagiaan anaknya. Cerita ini diakhiri dengan perdebatan antara Iyah dengan mantan
suaminya (ayah Masri).
Dalam cerpennya kali ini A.A. Navis kembali
mempertentangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sama seperti
cerpen Robohnya Surau Kami yang
fenomenal itu. Pola yang digunakan dalam cerpen ini pun hampir sama dengan cerpen
Robohnya Surau Kami. Ada seseorang
yang menyadarkan orang lain. Dalam cerpen Datangnya
dan Perginya, Navis menampilkan tokoh Masri yang menyadarkan sifat buruk
ayahnya yang suka main perempuan, layaknya Ajo Sidi yang menyadarkan Kakek
bahwa keimanan kepada Tuhan harus diimbangi dengan kerja keras.
Penyadaran yang dilakukan oleh Masri ini dilakukan
dengan perkataannya yang sederhana, terlihat dari kutipan berikut:
“Kalau
aku kurang ajar, bukan salahku. Perbuatan Ayah yang menyebabkan aku begini.
Ayah yang menyebabkan aku lahir tanpa kemauanku! Setelah aku lahir, Ayah lagi
yang merusaknya!”
Dalam kutipan diatas terlihat jelas bagaimana gaya
sarkasme A.A. Navis. Ia begitu tegas memperingatkan kepada para orang tua agar
menjadi tauladan yang baik bagi anak-anaknya.
Konflik antara Masri dengan ayahnya ini adalah
konflik pertama yang terjadi antar tokoh. Konflik tersebut dimenangkan oleh
Masri, karena berhasil membuat ayahnya sadar dan bertobat. Konflik manusia
dalam cerpen ini dibangun melalui dialog tokoh-tokohnya. Konflik tersebut
berupa kenyataan atau kehidupan sehari-hari. Ini adalah ciri khas dari A.A.
Navis dalam menyajikan ceritanya. Ia sering mempertentangkan kebenaran yang
tidak pasti.
Ciri tersebut semakin terasa ketika pembaca sampai
pada klimaks cerita. Pada klimaksnya ayah Masri yang hendak bertemu dengan
Masri disambut dengan kenyataan pahit dari mantan istrinya. Ia mengatakan bahwa
Arni yang saat ini menjadi istri Masri ternyata saudara kandung Masri.
Mendengar hal itu, ayah Masri sangat terkejut dan hendak memberitahukan ihwal
sebenarnya kepada Masri dan istrinya. Ayah masri berpendapat bahwa hal tersebut
adalah dosa. Ayah Masri yang telah bertobat berkata, “Aku tak sanggup menghadapi kutukan Tuhan”. Namun, Iyah menghalanginya, ia berkata:
“Biarkan
mereka berbahagia dalam ketidaktahuannya”
Konflik tersebut akhirnya dimenangkan oleh Iyah.
Ayah Masri yang pada awalnya begitu kokoh pendiriannya akhirnya memilih untuk
pergi (“...laki-laki itu melangkah dengan
tenang ke muka, tapi kepalanya tepekur sebagai orang kalah”). Konflik
antara Iyah dengan ayah Masri bermakna konflik antara keduniaan dan
keakhiratan, antara kebahagiaan dunia dan dosa. Iyah sebagai tokoh yang
berusaha keras menjaga kebahagiaan anak-anaknya melawan keimanan ayah Masri yang
begitu takut akan dosa. Kepergian ayah Masri menandakan kemenangan bagi
keduniaan/kebahagiaan dunia (sosial).
Lagi-lagi A.A. Navis memenangkan aspek duniawi
dibanding akhirat sama seperti pada cerpen Robohnya
Surau Kami. Perbedaannya adalah dalam cerpen Datangnya dan Perginya pihak yang kalah (ayah Masri) memilih untuk
tetap menjalani kehidupan agamisnya dan menjauhi dosa. Sebuah penyesalan yang
dirasakan tokoh ayah Masri adalah dia tahu kebenarannya namun harus menutupinya
dan ini adalah perbuatan dosa. Lain halnya pada cerpen Robohnya Surau Kami, pihak yang kalah (Kakek) tanpa alasan yang
jelas malahan bunuh diri bukannya bertobat dan memperbaiki kehidupannya.
Peristiwa bunuh diri Kakek ini adalah salah satu bentuk sarkasme yang ditujukan
kepada orang-orang yang imannya lemah.
Sebuah pilihan yang sulit harus ditanggung oleh ayah
Masri, di satu sisi ia harus mempertahankan keimanannya, tapi di sisi lain ia
tidak ingin merusak kebahagiaan anak-anaknya. Akhirnya ia memilih untuk pergi.
Mungkin inilah makna dari judul cerpen tersebut, datangnya sang ayah untuk
melihat kebahagiaan anaknya namun kenyataan pahit telah membuatnya pergi
meninggalkannya.