Posted by : Septian Cahyo Putro Sabtu, 25 Oktober 2014

Dari namanya saja kita sudah akan tahu kalau dia tentu lahir kala ejaan lama masih digunakan. Ya, Anda bisa menebak berapa usianya sekarang. Beberapa hari yang lalu saya bertemu beliau dan menanyakan usianya. Ternyata sudah menginjak 79 tahun. Bahkan 10 tahun lebih tua dari republik ini.
Di usianya yang sudah 79 tahun, beliau tetap terlihat segar. Bolak balik naik turun tangga fakultas adalah hal yang biasa. Bahkan tak jarang beliau berjalan kaki dari rumahnya di komplek dosen UI sampai ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang jaraknya kurang lebih 2 km.
Beliau sampai saat ini masih aktif mengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengajar tiga kelas, mata kuliah Morfologi. Bahkan beliau juga menjadi dosen pembimbing bagi tiga mahasiswa tingkat akhir. Luar biasa bukan? Ketika saya tanya padanya mengapa masih terus mengajar, ternyata jawabnya sederhana saja. “Supaya tidak banyak yang lupa.” Ah, betapa cintanya beliau akan ilmu linguistik, sampai enggan melepaskannya dari pikirannya—ingat usia beliau 79 tahun.
Saya sempat terkejut ketika beliau bercerita tentang hobinya bermain tenis. Sampai usia 75, beliau tetap aktif bermain tenis—ini luar biasa. Lalu beliau juga berkata, “kalau sekarang sudah capek bermain tenis, tak seperti dulu.” Saat ini beliau tinggal sendiri di rumahnya, istrinya sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Sering kali anak-anaknya yang telah berumah tangga datang untuk menemaninya. Hati saya tersentuh, di usia yang begitu senja beliau sangat mandiri. Mengurus semuanya sendiri, mulai dari hal-hal rumah tangga sampai urusan perkuliahan.
Pak Djoko Kentjono pernah berkuliah di Texas—saya lupa nama universitasnya. Beliau berhasil meraih beasiswa penuh untuk menyelesaikan studi magisternya. Sepulangnya dari Amerika beliau mengajar di Universitas Indonesia sampai usianya 55 tahun. Kalau Anda mengenal Harimurti Kridalaksana atau Achmad H.P., mereka adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswanya yang saat ini telah menjadi Profesor Linguistik.
Meski begitu beliau sangat rendah hati. Tak jarang beliau menundukkan badannya meski kepada orang yang lebih muda. Beliau selalu menanggapi dengan ramah setiap mahasiswa yang hendak berbincang dengannya. Kemeja putih lengan pendek dan celana pentalon krem adalah pakaian khasnya. Saya sendiri belum pernah melihatnya mengenakan warna kemeja selain warna putih. Benar-benar pribadi yang sederhana.
Pria kelahiran Sragen ini saat ini telah memiliki dua orang cucu dari kedua anaknya. Beliau sempat bercerita kepada saya kalau dirinya tak bisa menulis panjang, hanya sampai beberapa halaman saja. Katanya,”Ya, kalau masalahnya sederhana kenapa harus ditulis panjang-panjang?” Kemudian ia menambahi seraya tertawa,”Makanya saya heran sekali melihat tesis saya, kok bisa ya saya menulis sepanjang itu?” Saya ikut tertawa.
Dulu ketika menulis skripsi entah bagaimana caranya saya harus bisa lebih dari target yang ditetapkan fakultas. Sehingga jadilah masalah sederhana yang harusnya bisa ditulis hanya 20 halaman, mekar hingga 70 halaman. Seandainya saja skripsi tak perlu berpuluh-puluh halaman. Haha.

Pak Joko, begitu orang-orang menyebutnya. Awalnya saya mengira beliau keturunan Cina, karena matanya sipit dan kulitnya putih. Ternyata beliau orang Jawa asli. Pak Joko seharusnya dijadikan teladan oleh semua mahasiswa dan dosen. Beliau adalah inspirasi saya. Semangat saya untuk terus bisa menjadi manusia yang rendah hati dan sederhana. Semangat saya untuk terus belajar sepanjang hayat. Semangat saya untuk mencintai ilmu. Semangat saya untuk bisa terus sehat di usia senja. Dan semangat saya untuk mengejar beasiswa.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Halaman Tian - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -