- Back to Home »
- Remy Silado: Nakal yang Tahu Aturan
Posted by : Septian Cahyo Putro
Jumat, 26 Agustus 2016
Namanya saya kenal pertama kali di kelas Pengantar
Teori Sastra beberapa tahun lalu. Kala itu, cerita yang paling lekat dengannya
adalah tentang puisi mbeling-nya.
Secara perlahan Remy Silado semakin sering memasuki koleksi pengetahuan saya.
Dari yang awalnya saya kenal seorang penyair belakangan saya mengenalnya
sebagai penulis bidang kebahasaan yang tulisannya dimuat di rubrik Bahasa Kompas. Kata salah seorang redaktur
rubrik ini, sedikit yang mampu menulis hal kebahasaan dengan memukau, Remy
salah satunya. Yang tak kalah menarik saya kemudian mengenalnya sebagai penulis
naskah, sutradara, pemain teater, pencipta lagu, bahkan pelukis.
Remy Silado lahir di Makassar, 12 Juli 1945 dan
menghabiskan masa kecil di Semarang dan Solo. Tentang nama penanya, tentu sudah
banyak yang tahu. Konon, nama ini merupakan tanggal pertama kali ia mencium
perempuan (tanggal 23 bulan 7 tahun ‘61). Sumber lain menyebut nama ini berasal
dari chord pertama lirik lagu All My Loving karya The Beatles. Namun
belakangan, Remy mengakui nama ini ia buat asal-asalan.
Sejak sekolah dasar Remy sudah gemar dunia seni
terutama seni lukis. Sampai di sekolah menengah dan perguruan tinggi kegemaran
ini terus ditekuninya. Ia pernah mengenyam pendidikan di Akademi Kesenian
Surakarta dan Akademi Teater Nasional Indonesia. Karena dedikasinya yang tinggi
di bidang seni ia pernah diberi penghargaan Anugerah Satya Lencana Kebudayaan
dari pemerintah Republik Indonesia.
Kepakaran Remy di dunia sastra tak diragukan lagi. Lewat
tangan dinginnya telah lahir puluhan novel dan puisi. Salah satu novelnya yang
tentu kita semua mengenalnya karena pernah diangkat ke layar lebar yaitu Cha
Bau Kan. Yang menarik adalah ketika banyak orang menyesalkan keputusan Remy
mengizinkan novelnya diangkat ke layar lebar karena dikhawatirkan merusak isi
cerita, ia justru berkata dalam salah satu seminarnya di UI, “kita ke bioskop
untuk menonton film, bukan untuk menonton novel”.
Melalui puisi Remy membuat gempar dunia sastra sebagai
salah satu pelopor puisi mbeling atau
puisi yang tidak terpaku pada kaidah-kaidah sastra yang kaku. Ia
menjelaskan bahwa tidak ada batasan dalam sastra, semua orang dapat menulis
sastra. Melalui gerakan perpuisian macam ini, Remy telah
menentang penulisan puisi lirik ala Majalah Sastra Horison.
Hal lain lagi yang menarik dari seorang Remy adalah ia
selalu menulis karya dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Mulai
dari membongkar arsip tua di Perpustakaan Nasional hingga menelusuri pasar buku
tua di dalam dan luar negeri ia lakukan
setiap ingin membuat sebuah karya
tulis. Misalnya saja, salah satu tulisannya berjudul, “Kepala Bulat Kelapa”
yang dimuat di Kompas edisi September
2001 merujuk pada referensi tahun 1663 yang tersimpan rapi di Malay Language in the Boleian Library,
Oxford. Sebuah riset mendalam “hanya” untuk sekadar menulis tentang “kepala”
dan “kelapa”. Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan
gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah
karya, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis tanpa
riset, karya tersebut cenderung akan kering.
Di dunia drama dan teater nama Remy Silado juga tak
diragukan lagi. Ia pernah menjabat sebagai ketua Teater Yayasan Pusat
Kebudayaan Bandung dan menjadi dosen Sinematografi Bandung (sejak 1971). Di Bandung pula, tempat ia mendirikan Dapur
Teater 23761 sekitar tahun 1970an. Selanjutnya melalui Dapur Teater, ia menjadi
penulis naskah, pencipta musik dan lirik, pemain, serta sutradara bagi
pementasan garapannya. Remy sendiri lebih suka menyebut bentuk pementasannya
itu adalah sandiwara nyanyi.
Lewat pementasan teaternya, Remy menyuguhkan gagasan
“nakal” dan “kurang ajar” untuk sebuah wujud seni kontemporer: mbeling. Gagasan
mbeling yang diusung Remy melalui teaternya adalah perlawanan
budaya terhadap dua sisi tatanan yang dianggap mapan, sisi estetis dan politis.
Dalam dua sisi itu, sebagian besar dramanya adalah bentuk visual dan verbal
yang mencoba menelanjangi segala macam kepalsuan moralitas serta
penjungkirbalikan logika yang telah diterima secara baku.
Selain mementaskan drama yang naskahnya ditulis
sendiri, Remy mementaskan drama musik karya orang luar, antara lain Jesus
Christ Superstar karya Tim Rice dan Andrew Webber. Tapi Remy
mengadaptasinya dalam bentuk mbeling dan
nyeleneh. Dalam opera yang
dipentaskan di Balai Sidang Jakarta pada Juni 1980, Remy menghadirkan sosok
Yesus berkulit hitam dan Yudas berkulit putih. Yesus (diperankan oleh Martin
Luther Meset, mantan anggota Black Brothers) naik becak. Pertunjukan itu heboh
dan mengundang reaksi pelbagai kalangan, serta sempat membuat aparat gerah.
Saban selesai pertunjukan Remy langganan diinterogasi
polisi atau tentara. Bahkan pernah setelah pementasan drama Indonesia
Kamu Indonesia Kami di Gedung Stovia, Jakarta, pada Oktober 1973, Remy
diinterogasi aparat 10 hari, tidak boleh pulang ke Bandung. “Tahun segitu,
siapa berani maju sendirian mengkritik Orde Baru?” kata dramawan, novelis, dan
seniman bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong itu.
Berurusan dengan polisi atau tentara nyatanya tak
membuat Remy jera dalam mementaskan drama “perlawanan” serta puisi mbeling-nya. Lewat pementasannya, ia
mengkritik realitas yang berkembang, dari korps loreng-loreng yang galak hingga
korupsi pejabat. Remy tak hanya melontarkan kritik terhadap pemerintah. Ia juga
mengkritik perubahan tata nilai masyarakat, seperti kehidupan di Jalan
Tamblong, Bandung, Jawa Barat. Remy mengamati Tamblong yang dipenuhi perempuan
usia sekolah yang melacurkan diri. Para pelajar itu, kata Remy, mengikuti gaya
hidup remaja San Francisco yang menjadi groupies atau pengagum band yang doyan
hura-hura. “Mereka pelacur amatir,” katanya.
Setiap sastrawan besar selalu memiliki ciri khas dan
bagi saya ciri khas Remy yang terkuat adalah karakter multitalentanya dan kegigihan
dalam melakukan riset ketika ingin menulis. Ia sastrawan yang mampu memotret
realitas sosial dengan gaya nakal namun setia pada aturan. Karyanya selalu
didukung data shahih yang makin sulit ditemui pada sastrawan masa kini.
Referensi:
Salomo Simanungkalit (ed.). 2003. Inul Itu Diva? Kumpulan Kolom Bahasa Kompas. Jakarta: Kompas.