Posted by : Septian Cahyo Putro Senin, 15 Agustus 2016

Tidak sedikit orang-orang yang bertanya seperti judul di atas. Mereka berusaha membandingkan antara mukjizat Nabi Muhammad Saw dengan mukjizat nabi-nabi sebelumnya. Padahal Nabi Musa diberi 9 mukjizat mulai dari tongkat, katak, darah, dll hingga mampu membelah Laut Merah, padahal Nabi Isa diberi mukjizat mampu menghidupkan orang mati, menyembuhkan penyakit kusta dengan sekali sentuh, membuat burung dari tanah liat, dll. Lalu mengapa Nabi Muhammad Saw yang notabene nabi akhir zaman, yang mendapat gelar salah satu ulul azmi dan nabi terbaik dengan gelar SAW hanya diberikan mukjizat utama berupa Al-Quran? Tentu kita tidak pula boleh melupakan mukjizat beliau yang lain yaitu mampu membelah bulan, mendatangkan hujan, mengeluarkan air dari jari tangannya, dll. Namun, mengapa hanya Al-Quran sebagai mukjizat utamanya?

Beginilah jawaban Hamka, dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar. Pertama, mukjizat-mukjizat yang diberikan oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain-lain merupakan mukjizat yang hanya dapat disaksikan oleh manusia sezamannya. Sepeninggalnya nabi-nabi tersebut maka mukjizat itu pun hilang bersama mereka. Berbeda dengan Al-Quran, sepeninggal Nabi Muhammad Saw Al-Quran tetap eksis dan terbukti mampu selaras dengan perkembangan peradaban manusia. Bahkan Al-Quran justru melampaui peradaban manusia. Misalnya, ketika tahun 1580, Sir Bernard Palissy membicarakan tentang siklus air untuk pertama kalinya, tapi Al-Quran telah menyebutkannya pada 1400 tahun yang lalu melalui banyak sekali ayat di dalamnya (Az-Zumar: 21, Ruum: 24, Al-Hijr: 22, Nuur: 43, dll). Atau ketika Al-Quran berfirman tentang genetic bahwa sperma laki-laki yang bertanggung jawa atas jenis kelamin bayi dalam surat An-Najm: 45-56 yang nyatanya baru kita ketahui beberapa waktu lalu. Serta masih banyak lagi bukti bahwa Al-Quran melampaui peradaban manusia. Di samping itu, masih banyak ayat-ayat aqliyah (akal) yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern.

Kedua, mukjizat seorang Nabi disesuaikan dengan kondisi zamannya. Ketika Al-Quran diturunkan ke negeri Arab, negeri tersebut dalam kondisi puncak kesastraan. Di mana tradisi menulis karya sastra menjadi viral. Sayembara penulisan sastra pun seringkali diadakan dan karya terbaik berhak dipajang di dinding Ka’bah selama satu tahun. Selama itu pula, masyarakat dari berbagai penjuru daerah datang untuk membaca dan menghafal karya tersebut. Ust. Solihin, Lc. (penemu metode Granada—salah satu metode dalam penerjemahan Al-Quran), dalam kajiannya di Universitas Indonesia mengenai mukjizat Al-Quran dari segi bahasa pernah mengungkapkan, ketika seseorang memelajari sastra Indonesia mungkin ia akan terpukau, tapi ketika ia kemudian memelajari sastra Arab maka sastra Indonesia langsung jatuh kedudukannya, selanjutnya ketika ia memelajari sastra Al-Quran maka sastra Arab tidak ada apa-apanya.

      Berkaitan dengan itu, saya sempat tidak setuju dengan pendapat Malinovsky yang menyatakan bahwa agama adalah produk budaya. Mungkin memang ada agama yang merupakan produk budaya, tapi Islam yang diturunkan kepada manusia bernama Muhammad bukanlah produk budaya. Menyetujui bahwa Islam adalah produk budaya, sama saja sepakat bahwa Al-Quran adalah hasil budi dan akal manusia, maka menjadi tidak asing orientalis Barat menganggap Al-Quran sebagai karangan Nabi Muhammad Saw. Ah, bagaimana mungkin seorang yang buta huruf mengarang Al-Quran dengan bahasa yang tertandingi semacam ini? Sungguh, bodohnya kalian itu keterlaluan!

Ketiga, Al-Quran bukan “cuma” tulisan Arab biasa. Mukjizat Nabi Muhammad Saw ini adalah sebuah mukjizat yang tak tertandingi oleh ilmu pengetahuan manusia hingga saat ini. Lain halnya dengan kemampuan Nabi Musa yang mampu membelah Laut Merah, penelitian menemukan bahwa daerah tersebut memang sering kali mengalami pasang dan surut dalam kondisi ekstrem. Atau mukjizat Nabi Ibrahim yang tak mampu di bakar api, orang-orang Yogi yang gemar bermeditasi telah mampu berjalan di atas bara api. Sedangkan mukjizat Nabi Isa yang mampu menyembuhkan orang sakit kusta, ilmu kedokteran modern telah sanggup melakukannya—meski belum mampu sehebat Nabi Isa. Bahkan mukjizat Nabi Muhammad yaitu Isra’ Mi’raj pun telah terjawab oleh disiplin ilmu Fisika melalui teori perubahan wujud partikel menjadi gelombang.

Bukan maksud penulis meremehkan mukjizat-mukjizat nabi tersebut, namun mengutip pendapat Zakir Naik, ketika sebuah mukjizat telah terungkap rahasianya atau telah berhasil ditiru oleh manusia, maka ia bukan lagi mukjizat. Peradaban manusia yang kian maju ternyata berhasil mengungkap rahasia-rahasia di balik mukjizat itu. Tapi Al-Quran? Sampai saat ini, banyak sekali sarjana yang ahli dalam bahasa dan sastra Arab yang telah mencoba membuat sebuah surat semisal Al-Quran, tapi mereka tidak sanggup. Sebab ini dijamin oleh Allah Swt dalam surat Yunus: 38.
 Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar".
Penulis ingin menutup tulisan ini dengan sebuah ayat yang cukup menggetarkan hati.
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Al-Hashr: 21)
Bahkan sebuah gunung, tidak akan sanggup memikul Al-Quran. Lalu masihkah kita yang bahkan seringkali takjub pada kemegahan gunung meremehkan dan meragukan Al-Quran?

Depok, 13 Agustus 2016



Septian Cahyo Putro

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Halaman Tian - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -