- Back to Home »
- mimpi pendidikan Indonesia , mirisnya nasib guru , pendidikan karakter »
- Mimpi Pendidikan Berkarakter dan Miris Nasib Guru
Posted by : Septian Cahyo Putro
Kamis, 03 April 2014
Masalah
karakter kian naik daun sekarang ini. Apalagi dengan lahirnya Silabus dan RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) “Berkarakter.” Siswa-siswa kita dituntut
menjadi insan berkarakter positif dengan alatnya berupa Silabus dan RPP. Makin
terbebanilah mereka. Penguasaan terhadap—minimal—10 mata pelajaran wajib,
tuntutan harus mendapat nilai baik dari orang tua, sekarang ditambah pula
menjadi insan berkarakter.
Tentu
bukan hanya siswa yang pusing, ini pun menjadi tambahan pekerjaan bagi orang
yang telah “mengorbankan” diri berprofesi guru. Betapa repotnya seorang guru
yang setiap hari “kudu” dan wajib membuat RPP minimal sebanyak dua halaman,
berceloteh minimal di tiga kelas berbeda perharinya dengan jumlah siswa minimal
30 orang, harus ditambah pula menjadikan siswa-siswanya insan berkarakter.
Menciptakan
insan berkarakter tidaklah semudah mencatumkan “karakter yang diharapkan” pada
kolom akhir Silabus atau RPP. Untuk menciptakan insan berkarakter tentunya
seorang guru haruslah tuntas karakternya. Seorang pencipta sudah sepatutnya
lebih baik dari ciptaannya. Bukan hanya itu, seorang guru harus sanggup
memantau terus-menerus setiap siswanya. Guru harus memahami masalah siswanya
secara detil dan menanamkan nilai-nilai positif dalam diri mereka secara
perlahan. Ada kalanya ketika guru telah berhasil menanamkan satu nilai positif,
muncul dua nilai negatif dalam diri mereka atas pengaruh lingkungannya.
Kemungkinan lain adalah naik turunnya karakter mereka, disebabkan
keremajaannya. Sehingga mereka belum mampu konsisten dengan karakter tersebut.
Sekarang
Anda bayangkan jika seorang guru/wali kelas bertanggung jawab terhadap 40 siswa
saja. Betapa banyak masalah yang harus mereka tangani. Seperti yang sering
disampaikan para ahli, “tiap siswa adalah individu-individu yang unik.” Mereka
bukan hanya akan menangani 40 masalah saja tapi bisa lebih dari itu karena tiap
siswa bisa saja memiliki lebih dari satu masalah. Tidak mungkin mereka sanggup
menangani masalah-masalah itu sendirian. Ingin meminta bantuan guru BK namun hanya
ada beberapa guru BK di sekolah yang jumlah siswanya mencapai 300 orang. Ingin
berkonsultasi pada kepala sekolah, hanya ada satu kepala sekolah dan ia pun
terlalu sibuk mencari dana bantuan. Akhirnya guru pun memilih bersikap apatis
terhadap perkembangan karakter dan masalah siswanya. Mereka hanya datang,
mengajar, memberi tugas, dan pulang. Lalu muncullah paradigma-paradigma negatif
dari guru, “kami tidak dibayar untuk mengurus karakter siswa, kami hanya
dibayar untuk mengajar, itupun dengan bayaran yang memprihatinkan,” “mengurus
keluarga kami saja sudah membuat pusing, apalagi ditambah mengurus anak orang
lain yang bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan kami.”
Guru itu
adalah tonggak kemajuan sebuah bangsa! Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom
atom oleh Amerika, hal yang pertama ditanyakan oleh PM Jepang saat itu adalah,
“berapa jumlah guru yang tersisa?” Negeri Matahari Terbit itu benar-benar paham
bahwa negaranya boleh hancur berkeping-keping, daun-daun boleh berguguran,
namun tunas-tunas baru harus terus tumbuh. Dan tunas-tunas itu ada di tangan
mereka, GURU. Wajarlah jika saudara tua kita itu lebih maju 50 tahun dibanding
Indonesia.
Lalu bagaimana
mungkin seorang guru bisa menciptakan insan berkarakter jika mereka masih harus
memikirkan cara memperoleh beras untuk beberapa minggu ke depan karena gaji
mereka hanya bertahan di permulaan bulan? Bagaimana mungkin mereka bisa
menciptakan insan berkarakter jika emosi dan nafsu masih menguasai mereka?
Bukan akhlakul karimah yang mereka tunjukkan malah sebaliknya.
Siswa
yang berkarater tidak bisa diciptakan secara instan, seperti memasak mie.
Banyak faktor eksternal dan internal dari siswa yang sangat mempengaruhi
perkembangan mereka. Lingkungan pergaulan yang tidak sehat, pola pikir peniru
kebudayaan asing, dan lemahnya pendidikan agama merupakan secuil persoalan yang
dihadapi siswa sekarang ini. Diperlukan sinergi yang baik antara guru dengan
orang tua untuk terus memantau dan memandu siswa agar tetap pada rel yang
benar.
Pemerintah
perlu meningkatkan kesejahteraan guru secara MERATA. Dengan begitu guru
benar-benar akan menjadi profesi yang profesional bukan hanya profesi pelarian.
Banyak orang akan tertarik menjadi guru sehingga besar peluang bagi sekolah
untuk melakukan seleksi, siapa yang sesungguhnya pantas disebut guru. Ciptakan
lagi Sekolah Keguruan dengan seleksi ketat mencakup aspek IQ, EQ, dan SQ.
Dengan begitu akan terlihat siapakah yang benar-benar berminat dan pantas
menjadi guru. Hapuskan mata pelajaran yang TIDAK PENTING di sekolah, sehingga
murid lebih fokus pada minat mereka. Bukan hanya dijejali dengan 13 teori dari
13 mata pelajaran yang berbeda dan tidak mereka sukai. Berikan siswa kesempatan
seluas-luasnya untuk menekuni minat mereka dan tanamkan budi pekerti melalui
pendidikan agama.
Sudah saatnya
kita semua berbenah diri agar wacana menciptakan siswa yang berkarakter tak
seperti peribahasa, “jauh panggang dari api.” Saatnya mewujudkan mimpi itu dan
menghapus kata miris yang identik dengan profesi keguruan.