- Back to Home »
- Mengubah Tradisi Rubah
Posted by : Septian Cahyo Putro
Rabu, 05 Maret 2014
Sekarang kata rubah sedang naik daun. Bagaimana tidak,
orang semakin sering menggunakan kata tersebut untuk mengganti kata ubah. Dalam bahasa lisan banyak orang
lebih nyaman menggunakan kata dirubah atau merubah ketimbang kata diubah atau
mengubah. Kebiasaan menggunakan kata rubah
dalam bahasa lisan akhirnya membawa kata tersebut ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu bahasa tulisan—artinya terjadi peningkatan stadium dari awalnya hanya
keliru sekarang menjadi salah. Kesalahan tersebut juga telah menjangkiti
berbagai tulisan di media massa cetak sampai judul berita di televisi. Bahkan
saya beberapa kali membaca tulisan di buku pengetahuan menggunakan kata dirobah
dan perobahan.
Kekeliruan ini sebenarnya
disebabkan oleh penggunaan kata “berubah.” Orang sudah terbiasa dengan
pelafalan kata tersebut sehingga mereka mengira bahwa kata dasarnya adalah “rubah.”
Padahal kita semua tahu bahwa rubah adalah nama hewan. Kata dasar yang benar
adalah ubah yang kemudian ditambahkan
prefiks ber-, bukan kata rubah yang
ditambahkan prefiks be-. Sedangkan mengenai kekeliruan kata robah saya belum mengetahui sebabnya.
Tampak sepele memang
karena hanya berbeda pelafalan saja, lagi pula orang sudah tahu maksud kata
tersebut. Namun kekeliruan yang sepele jika dibiasakan akan menjadi kesalahan
dan membiasakan kesalahan berarti kita menjadi manusia yang berkarakter salah
sehingga kita tidak lagi tahu mana yang benar. Kasus ini mirip dengan
penggunaan kata graha yang seharusnya
ditulis grha. Graha dalam bahasa Sanskerta berarti buaya sedangkan grha berarti rumah. Lalu menurut Anda
apa arti tulisan ini: 1.Graha Bhakti Budaya dan 2. Graha Indah Permai?
Kesalahan sepele ternyata menghasilkan makna yang jauh berbeda.
Manusia adalah masyarakat
bahasa yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan
mengidentifikasi diri. Sebagai masyarakat bahasa tentunya manusia harus setia
terhadap kaidah bahasa yang dianutnya. Bentuk kekeliruan seperti di atas adalah
wujud penghianatan bahasa—dalam kasus ini Bahasa Indonesia. Mengapa? Karena
dengan terus-menerus melakukan kekeliruan tersebut kita akan membunuh kata ubah, menggantinya dengan kata rubah dan menggantinya lagi dengan kata robah. Anak cucu kita tidak akan lagi
mengenal adanya kata ubah.
Itu hanyalah sedikit kasus
yang hanya melibatkan satu kata saja, masih banyak wujud penghianatan bahasa yang
dilakukan masyarakat bahasa. Seperti penggunaan bahasa “alay” atau pemindahan
bahasa lisan (bahasa percakapan sehari-hari) ke bahasa tulis tanpa mengikuti kaidah
penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Belum lagi penulis-penulis buku
yang “katanya” sastrawan tapi bahasa tulisnya berantakan. Malangnya nasib
Bahasa Indonesia terus dikhianati penuturnya.
Lalu akankah kata ubah lenyap dan digantikan hewan rubah, bahkan berubah lagi menjadi robah? Jawabnya ada pada tindakan kita,
sudikah kita mengubah kebiasaan keliru tersebut? Sudikah kita sebagai
masyarakat bahasa untuk setia terhadap kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan
benar? Mari jauhkan Bahasa Indonesia dari ambang kepunahan bahasa. Ini bukanlah
semata-mata tugas guru Bahasa Indonesia, sastrawan, editor bahasa atau siapapun
yang bergelut di bidang bahasa, namun tugas masyarakat bahasa sebagai penutur
Bahasa Indonesia.