- Back to Home »
- Resensi Film A Long Visit
Posted by : Septian Cahyo Putro
Minggu, 26 Januari 2014
RESENSI FILM A LONG VISIT
Film
ini dirilis pada tanggal 22 April 2010 dengan durasi 108 menit dan disutradarai
oleh Yong Suu Yup. Naskah film ini ditulis oleh Jang Hye Sun dan Kyo Hye Jong. Film
ini juga dikenal dengan judul My Mom. Film yang pernah diputar pada 2010 (14th)
Puchon International Fantastic Festival ini dibintangi oleh artis Korea yaitu
Kim Hae Suk sebagai Ibu dan Park Jin Hee sebagai Jisuk.
Awalnya
saya ditawari tiga film untuk didiskusikan dalam rangka perayaan hari Ibu yaitu
Cut Nyak Dien, 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita, dan A Long Visit. Semenjak awal saya
sudah ragu untuk menonton film ini karena saya tidak menyukai film Korea. Namun
dua film yang lain juga tidak terlalu menarik perhatian saya, akhirnya dengan
semangat setengah hati saya tonton juga film ini.
Film
ini diceritakan dengan alur campuran. Alur yang menceritakan kejadian sebelum
terjadinya sebuah peristiwa kemudian setelah peristiwa itu masih ada peristiwa
baru yang ditampilkan. Temanya sederhana yaitu kasih Ibu tak terhingga. Melalui
tema yang sederhana ini ditampilkan kisah-kisah lucu sekaligus mengharukan.
Hubungan
yang unik antara Ibu yang keras kepala dan cerewet dengan anak perempuannya
yang pemarah disajikan dengan dialog-dialog konyol yang membuat cerita tidak
hambar. Namun dialog-dialog konyol ini tidak serta-merta mengurangi suasana
haru yang dibangun semenjak awal pada film ini.
Peristiwa-peristiwa
dalam film ini tidak dibuat-buat dan tidak berlebihan. Ketika menontonnya saya
jadi terkenang beberapa peristiwa yang memang benar-benar saya alami. Hal ini
tentu tidak dialami oleh saya saja, mereka yang menonton film ini tentu
mengalaminya juga karena peristiwa-peristiwa dalam film ini ditampilkan secara
natural. Penulis naskahnya sangat peka merekam sekitarnya hingga berhasil
membuat naskah ini.
Kasih
sayang mendalam sang Ibu terhadap anak perempuannya dalam film ini ditunjukkan
semenjak ia kecil sampai sang anak menikah dan memiliki seorang putri. Begitu
banyak adegan-adegan yang menunjukkan dalamnya kasih sayang sang Ibu kepada
anak perempuannya (Jisuk). Ibu dalam film ini adalah sosok seorang motivator,
pembela, selalu ada untuk anaknya, rela berkorban, dan pelindung.
Sosok
motivator ditunjukkan ketika Jisuk kecil susah BAB, Ibunya memotivasinya untuk
mengejan. Kemudian ketika Jisuk melahirkan, Ibunya berteriak-teriak dari luar
ruang melahirkan untuk memotivasi anaknya. Sifat pembela ditunjukkan ketika
Jisuk diejek oleh tetangganya bahwa ia tidak layak muncul di televisi dan
ketika Jisuk dihina oleh calon mertuanya. Ibunya menunjukkan pembelaan dengan
membanggakan kelebihan anaknya.
Ibu
adalah sosok yang selalu ada untuk Jisuk bahkan ketika Jisuk telah berumah
tangga Ibunya sempat berkata, “jika saja rumahmu dekat pasti Ibu akan selalu
datang kesana untuk bersih-bersih.” Ucapan lain dari sang Ibu yang membuat
terharu adalah “Datanglah ketika sedih, Ibu akan mendengarmu meski tidak bisa
menyelesaikan masalahmu.”
Sikap
Ibu yang rela berkorban ditunjukkan pada berbagai adegan di film ini dan yang
paling teringat dalam benak saya adalah ketika Ibunya menyisihkan uang
belanjanya dengan menawar sayur semurah mungkin agar uangnya bisa dikumpulkan
dan diberikan pada anaknya untuk bekal kuliah nanti, ia sampai rela bertengkar
denga tukang sayur untuk mendapat harga yang murah. Adegan lainnya yaitu ketika
sang Ibu rela memohon-mohon kepada calon besannya untuk menerima anaknya
sebagai menantunya karena ia tahu bahwa Jisuk begitu mencintai laki-laki itu dan
tidak dapat bahagia tanpanya. Ucapan Jisuk tentang Ibunya yang tak dapat saya
lupakan adalah “Saat aku menangis Ibu menangis lebih keras dariku.”
Ibu
adalah sosok pelindung, ia tidak mau melihat anaknya dipukul atau dimarahi oleh
ayahnya. Bahkan sang Ibu hendak melindungi anaknya dari hal yang tak mungkin
yaitu kematian. Ibunya rela menggantikan posisi anaknya, ia juga meyakinkan
pada sang anak bahwa anaknya tidak akan meninggal mendahuluinya. Kasih sayang
terlalu dalam ternyata mampu menyebabkan seseorang khilaf akan hakikatnya
sebagai manusia.
Namun
bentuk kesempurnaan kasih sayang sang Ibu terasa cacat karena pada film
tersebut sang Ibu yang memiliki dua anak hanya memperhatikan anak perempuannya
saja. Pencitraan yang diperoleh dari film tersebut yaitu kasih sayangnya pada
anak perempuannya jauh melebihi kasih sayangnya pada anak laki-lakinya. Padahal
sebagai orang tua ia harusnya bersikap adil dalam membagi kasih sayangnya.
Hal
lain yang perlu mendapat perhatian adalah sikap Ayah kepada sang Ibu dan
anaknya. Pada bagian awal cerita terlihat karakter Ayah yang keras dan sering
memukuli istrinya. Ia nampak seperti tokoh antagonis. Namun sikap ini berubah
di tengah cerita. Sang Ayah yang dulunya dikenal kasar berubah menjadi pendiam,
bahkan terkesan takut pada istrinya. Perubahan karakter yang begitu drastis ini
menjadi kelemahan film tersebut.
Melalui
sosok Ayah dari film ini juga dapat diambil pelajaran bahwa meskipun Ayah
sering terlihat tidak peduli terhadap keluarganya namun ternyata ia menyimpan
kasih sayang dan perhatian yang begitu dalam. Hanya cara mengungkapkannya saja
yang berbeda. Sosok Ayah selalu ingin terlihat kuat di depan keluarganya karena
Ayah adalah tempat bersandar, ia adalah pelindung, ia tidak boleh menangis di
depan keluarganya seberat apapun kesedihan yang ditanggungnya. Saya pikir
hampir semua Ayah di dunia memiliki sikap seperti ini. Ketika kematian Ayahnya,
Jisuk berkata:
“Aku
kira aku tidak menyukai Ayahku, Aku kira aku membenci Ayahku, Aku kira aku
tidak mempunyai kenanga tentang Dia dan aku tidak merindukannya”
Ucapan
tersebut adalah bentuk penyesalan Jisuk atas sikapnya selama ini terhadap
ayahnya. Ia baru merasakan bahwa Ayahnya begitu menyayanginya ketika sang Ayah
telah tiada. Film ini meskipun ingin menceritakan tentang kasih sayang Ibu
terhadap anaknya namun tidak melupakan sosok Ayah. Sosok Ayah yang awalnya
ditempatkan antagonis, pada saat kematiannya justru dirindukan dan ditangisi.
Selain
ceritanya yang natural, keunggulan lain dari film ini adalah penyelesaiannya
yang mengejutkan. Saya pikir bahwa Ibunya yang akan meninggal lebih dulu
ternyata justru Jisuk yang terkena kanker dan meninggal. Sebuah akhir yang
mengejutkan dan tentunya tidak bertendensi dengan film-film pada umumnya.
Pesan
utama yang ingin disampaikan melalui film ini tentu sudah jelas terbaca oleh
penonton. Salah satunya melalui kalimat berikut, “Janganlah kasar pada Ibumu,
jadilah lembut selagi bisa, jangan sampai kau menyesal!” Sejalan dengan pesan
Rasullullah Saw, homatilah ibumu, ibumu, dan ibumu, jangan pernah berkata ‘ah’
kepadanya. Pesan lain yang harus kita yakini adalah jauhkan diri dari perasaan memiliki
yang berlebihan, karena semua hanyalah titipan yang suatu saat akan diambil
kembali oleh Yang Maha Memiliki.
Akhirnya
saya menyatakan film ini layak untuk ditonton namun tetap perlu memperhatikan
segi-segi tertentu. Sebagai penonton yang cerdas kita tidak boleh menelan
bulat-bulat sebuah gagasan karena gagasan tersebut belum tentu benar. Sikap
kritis sangat diperlukan untuk menghadapi setiap gagasan tersebut.