- Back to Home »
- Sastra Asli vs Sastra Terjemahan
Posted by : Septian Cahyo Putro
Senin, 29 April 2013
Bicara tentang sastra seolah takkan ada habisnya.
Sastra tercipta sebagai buah pikir seseorang untuk merespons segala sesuatu
yang ada di sekitar (lingkungannya). Sastra adalah miniatur kehidupan yang
mewujudkannya tidak hanya berdasarkan fakta tapi membingkainya dengan ‘kebohongan’
yang tampak indah. Tidak mengherankan jika Hamsad Rangkuti berkata, “sastra
adalah kebohongan.”
Dewasa ini, banyak sastra-sastra terjemahan yang masuk
ke negeri kita Indonesia. Karya-karya tersebut tentunya membawa pengaruh
tersendiri bagi dunia kesastraan Indonesia. Tentu saja ada pengaruh positif dan
negatif. Pengaruhnya dirasakan langsung oleh para sastrawan lokal. Bagi pembaca
saya rasa pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan.
Sastra terjemahan yang membanjiri dunia kesastraan
Indonesia secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi identitas diri
sastra nasional sendiri. Bahkan menghilangkan tradisi dan jati diri sastra
daerah. Sebut saja novel-novel Salah Asuhan, Belenggu, dan Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijk yang tidak lagi dimuat—meskipun hanya sebagai kutipan—pada buku-buku
paket pelajaran Sastra Indonesia. Penulis buku lebih suka mencantumkan kutipan
novel “Harry Potter” dibandingkan dengan novel-novel tersebut. Hal itu tentu
tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena memperluas wawasan dan khazanah
sastra siswa adalah hal yang utama. Namun, akankah novel-novel Indonesia itu
terlupakan kaum terpelajar? Seperti mereka melupakan Pram—nominator Nobel satu-satunya
Asia dalam bidang sastra—dan karya-karyanya.
Saya rasa sastra terjemahan yang masuk ke Indonesia
harus dibatasi karena sastrawan lokal sudah cukup banyak melahirkan karya-karya
yang bagus meski belum mampu menembus kancah internasional. Jika sastra
terjemahan semakin banyak masuk ke Indonesia dan ternyata sastra terjemahan
jauh lebih baik dari sastra nasional sendiri maka akan banyak sastrawan muda
dan berbakat frustasi karena karyanya yang tidak lagi diminati oleh masyarakat.
Mereka akan terkubur dalam jajahan sastra terjemahan.
Namun, pembatasan yang dilakukan tidak boleh terlalu
berlebihan, sampai melarang sastra terjemahan masuk ke Indonesia. Sastrawan
lokal juga perlu belajar dari sastra terjemahan yang umumnya lebih bersifat
universal. Selain itu, sastra terjemahan juga dapat memotivasi dan
menginspirasi sastrawan loka untuk terus mengembangkan karyanya.