- Back to Home »
- Pramoedya Ananta Toer »
- PRAM: TETRALOGI BURU, GADIS PANTAI, AROK DEDES, DAN BUKAN PASAR MALAM
Posted by : Septian Cahyo Putro
Selasa, 30 April 2013
Masih terkenang ketika saya pertama kali membaca novel
Bumi Manusia, awalnya bingung memang, tapi setelah saya menyelesaikannya saya
menemukan pelajaran-pelajaran berharga dalam hidup. Lalu saya lanjutkan dengan
membaca Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan terakhir Rumah Kaca. Tetralogi
Buru adalah sebuah mahakarya Pram. Ia mengajarkan nasionalisme, jangan mau
diinjak-injak bangsa lain! Kita harus bangkit, melawanlah setidak-tidaknya
melawan dengan hati!
Saya lanjutkan membaca Arok Dedes, Gadis Pantai, dan
terakhir Bukan Pasar Malam. Saya sangat menyukai Arok Dedes, Pram menolak
segala bentuk gaib yang menyertai cerita tersebut, dan menciptakan
pandangan-pandangan modern tentang kehidupan. Sampai-sampai saya bercita-cita
untuk menjadi seorang Arok (salah satu tokoh dalam novel itu). Semua kisah gaib
yang menyertai cerita tersebut diubah Pram menjadi kisah-kisah rasional yang
menjadikan cerita dapat diterima akal sehat. Saya pikir, Arok Dedes adalah
novel sejarah Pram yang terbaik.
Selanjutnya Gadis Pantai, novel ini mengisahkan
tentang Bendoro dan si Gadis Pantai yang diangkat sebagai Nyai atau gundik. Melalui
novel ini Pram berusaha mengubah paradigma pembaca bahwa tidak hanya orang
Belanda saja yang menjajah Indonesia, tapi orang Indonesia juga menjajah
sebangsanya sendiri. Mereka merasa berbeda dengan orang Indonesia yang lain
karena mereka punya kekuasaan yang membuatnya disegani. Mereka justru menjadi
sang penjilat pantat Belanda dan melecehkan sebangsanya. Merekalah golongan
para priyayi yang tega menari di atas ratapan anak negeri. Gadis Pantai, sebuah
novel yang merekam zaman.
Terakhir adalah novel Pram yang cukup tipis yaitu
Bukan Pasar Malam. Melalui novelnya ini Pram mengungkapkan sisi romantisnya. Inilah
sebuah novel yang benar-benar mengisahkan kehidupan Pram. Sebuah karya yang
menceritakan kematian sang ayah. Pram yang begitu keras menyuarakan realisme
sosialis ternyata “cengeng” juga. Ia berkali-kali menangis dalam novel ini. Tentu
wajar saja, ayahnya meninggal setelah ia menghardiknya dengan kata-kata yang
cukup kasar dalam salah satu suratnya (Brieven).
Rasa bersalah sangat mendalam dialami Pram dalam novel ini, rasa bersalah yang
membawanya ke dalam pusaran romantisme.
Tentu masih sangat banyak pelajaran-pelajaran berharga
dari novel-novel Pram yang lain. Tidak mengherankan ia menjadi kandidat
penerima nobel dalam bidang sastra dan satu-satunya di Asia. Suara lantang
terdengar di Amerika, Jerman, Rusia, Perancis, Jepang, hingga negeri tetangga
Malaysia. Novelnya menjadi bacaan wajib di berbagai negara maju. Tapi di
Indonesia, hanya desahan-desahan Pram saja yang terdengar. Saya sendiri
mengakui baru mengenalnya saat duduk di bangku kuliah, saat sekolah dulu tak
pernah saya baca di buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengenai
Pram dan karya-karyanya. Bahkan sampai sekrang, Pram seolah haram bagi
pendidikan sastra di sekolah, mungkin karena ia pernah menjadi anggota Lekra
yang notabene lembaga budaya milik Komunis.
Mengapa Pram tidak dikenalkan oleh negara kita sejak
sekolah menengah? Karena kita adalah bangsa yang tidak tahu diri, bangsa
konsumtif, bangsa kuli, dan bangsa penjilat. Itulah julukan Pram bagi
Indonesia. Bahkan nama Indonesia adalah nama yang tidak pantas, menurutnya nama
tersebut adalah pemberian bangsa asing. Lalu kapan kita tidak lagi menjadi
bangsa konsumtif dan tidak produktif? Kapan kita tidak lagi menjadi bangsa kuli
dan kuli bagi bangsa-bangsa?
selain pram dari Indonesia ada HN. Dini kak yang menjadi salah satu nominasi nobel sastra.
BalasHapusOh begitu, terimakasih infonya ya..
BalasHapus