- Back to Home »
- Dispersepsi Apresiasi Sastra
Posted by : Septian Cahyo Putro
Selasa, 21 Mei 2013
Apresiasi sastra dari zaman pendidikan Belanda hingga
saat ini tidak pernah berkembang. Selalu saja guru-guru sastra di sekolah
menengah hanya mengajarkan sastra sebatas teori-teorinya saja. Mereka hanya
berkutat pada pengertian unsur-unsur intrinsik tanpa bersentuhan langsung
dengan karyanya. Tidak dipungkiri bahwa tanpa mengetahui teori tentu
siswa-siswa sekolah menengah tidak akan mampu memulai kegiatan apresiasi.
Namun, ketika seorang guru sastra terus berkutat tentang teori, tentang
pengertian-pengertiannya tanpa menyuguhkan karya sastra kepada siswanya tentu
mereka tidak akan mampu menikmati hakikat apresiasi yang sesungguhnya.
Bukankah tujuan dari pembelajaran Sastra Indonesia
sesuai dengan Kurikulum tahun 2004 adalah (1) agar peserta didik mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia? Manakah tujuan
pembelajaran sastra yang berbunyi “agar peserta didik memahami definisi
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra?”
Menurut Sapardi Djoko Damono siswa-siswa di Indonesia
sejak zaman penjajahan Belanda dulu tidak pernah memiliki waktu luang untuk
menikmati apa yang disebut apresiasi sastra. Hal itu dikarenakan sejak zaman
Belanda dulu mereka dijejali muatan kurikulum pendidikan yang sangat padat
sehingga siswa tidak ada waktu lagi untuk bersenang-senang dengan karya sastra.
Tidak jauh berbeda dengan saat ini, kurikulum di
Indonesia menuntut siswanya menjadi robot yang mampu menerima semua pelajaran
baik yang disukai maupun yang tidak disukai. Pilihannya hanya dua menerima atau
tidak lulus. Sehingga ketertarikan mereka terhadap karya sastra itu sendiri
semakin berkurang.
Ditambah lagi jika guru sastranya tidak menyukai karya
sastra. Makin malanglah nasib siswa-siswa sekolah menengah yang tidak bisa
menikmati apresiasi sastra. Padahal dari karya sastra siswa dapat belajar
banyak hal tentang kehidupan karena pada dasarnya karya sastra adalah miniatur
kehidupan. Karya sastra yang tepat dapat memperhalus budi seseorang dan bahkan
memberikan mereka sebuah pencerahan. Seperti yang dikatakan Riris K.
Toha-Sarumpaet, “dengan sastra menjadi manusia.”
Apresiasi sastra bukanlah sebatas kegiatan menganalisis
siapakah tokoh utama, bagaimana alurnya, apa sudut pandangnya, bagaimana
sifat-sifat tokohnya, atau sekedar mencari tema sebuah karya sastra. Tapi lebih
dari itu, melalui kegiatan tersebut dapat diungkap apa makna sesungguhnya
sebuah karya sastra, apa pesan yang ingin disampaikan pengarang, bagaimana
penyampaian pesan tersebut, bagaimana keterkaitan satu tokoh dengan tokoh
lainnya dan ditutup dengan komentar mengenai kelebihan dan kekurangan karya.
Pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai karya sastra itu sendiri justru lebih
penting ketimbang sekedar memahami unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya.
Kegiatan apresiasi itu sendiri hendaknya dimulai dengan menanamkan motivasi
pada diri siswa untuk menyukai membaca karya sastra. Karena apresiasi terbesar
bagi seorang sastrawan adalah membaca karyanya.
Kemudian terkait evaluasi terhadap hasil apresiasi sastra
Maman S. Mahayana menjelaskan bahwa dalam soal-soal terkait apresiasi sastra
harus dihindari jawaban yang pilihannya sudah tersedia—misalnya pilihan ganda
atau sekedar benar/salah—untuk membentuk daya kreatifitas siswa. Pilihan
jawaban yang sudah tersedia hanya akan menghasilkan pemikiran yang kerdil dari
siswanya. Padahal seperti kita ketahui karya sastra itu multitafsir. Biarkan
siswa menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apresiasi sastra
itulah yang dinamakan kegiatan apresiasi! Sampaikan pembelajaran sastra dengan
bersemangat dan menarik agar mereka bisa menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk kehidupannya.