- Back to Home »
- Sastra Pencerahan
Posted by : Septian Cahyo Putro
Kamis, 03 Mei 2012
SASTRA PENCERAHAN
Oleh: Septian Cahyo P.
Apakah
sastra pencerahan itu? Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal tersebut
marilah kita pahami dulu maknanya secara morfologi dan sintaksis. Secara
morfologi pencerahan berasal dari {pe-}+{cerah}+{-an}. Imbuhan {pe-/-an} pada
kata tersebut berarti “proses”, oleh karena itu pencerahan dapat dimaknai
proses yang mencerahkan atau proses membuat jadi cerah. Lalu secara sintaksis
sastra pencerahan memiliki pola MD (menerangkan-diterangkan), hal ini bertentangan
dengan pola bahasa Indonesia yang seharusnya DM (diterangkan-menerangkan).
Apakah hal ini merupakan sebuah kesalahan atau kesengajaan?
Dapat
saya simpulkan pola MD pada frase sastra pencerahan memiliki makna yaitu
“bukanlah sastra yang harus dicerahkan tetapi sastra itulah yang harus mampu
mencerahkan”. Lalu seperti apakah sastra yang mampu mencerahkan itu?
Faruk,
seorang doktor ilmu sastra dari UGM berpendapat, sastra Indonesia selalu
menjadi “sastra yang melawan”. Sejarah sastra Indonesia modern yang berusia
sekitar seabad telah menciptakan karya-karya sastra dan sastrawan yang amat
sensitif sekaligus rentan terhadap rangsangan-rangsangan pragmatisme. Mereka
manjadi cenderung gelisah dan digelisahkan oleh situasi eksternal yang
mengelilinya dan mudah sekali terpicu olehnya, baik dalam bentuk kepatuhan yang penuh ataupun
perlawanan yang keras atau mungkin setengah hati. Dorongan dan tuntutan
ekonomi, sosial, dan moral membuat mereka merasa tidak tenang dalam menjalani
aktvitas mereka. Sastra Indonesia menurut Faruk diibaratkan sebagai seorang
penari yang tidak pernah menikmati tubuhnya sendiri. Ia selalu dibuat gelisah
oleh orang lain yang menontonnya, menjadi serba kikuk, menimbang-nimbang, dan
akhirnya memaksakan diri untuk diterima dan diberi posisi meski sebagai musuh
para penonton itu.
Apa
yang dinyatakan Faruk memang benar adanya, dan hal itu bukanlah sesuatu yang
salah, jadi tidak perlu ada yang dipersalahkan. Sastra menggambarkan realitas
masyarakat, lalu apa gunanya sastra yang tenang dan damai jika masyarakatnya
masih belum merasakan hal tersebut? Indonesia adalah sebuah negara, sebuah
bangsa, sebuah masyarakat, yang selalu berada dalam kancah pertempuran dan
pergolakan, tempat orang selalu takut akan kehilangan kesempatan. Bagaimanapun,
dalam kancah peperangan kehilangan kesempatan memang selalu berarti kematian,
kehilangan untuk selama-lamanya.
Setiap
kesusateraan yang baik memberi pencerahan kepada manusia, pembacanya. Sekalipun
itu pencerahan yang bersifat subjektif, dimana terjadi dialog antara sastra dan
seseorang yang membacanya. Namun juga pencerahan dalam pengertian objektif,
yang bisa dirasakan denyutnya oleh semua manusia yang membaca. Dengan sentuhan
estetiknya, sastra memberi katarsis
sehingga menjadi inspirasi pencerahan manusia untuk membebaskan keterjajahan
dirinya dari kekuasaan yang mengingkari hakikat manusia, hakikat alam, dan
daulat Tuhan.
Sastra
yang mencerahkan bukan saja terobsesi semata oleh wadag bahasa, melainkan juga
menghidupi bahasa. Ia tidak sekedar berurusan dengan indahnya tubuh, melainkan
sekaligus memberi makna keindahan terhadap tubuh. Ia bersumber dari air
religiositas (suatu dimensi kedalaman yang mulai menghilang dalam
keber-agama-an) sebab ia ingin melepaskan dahaga hakikat kemanusiaan kita.
Karenanya,
sastra yang mencerahkan berlawan terhadap penjajahan kemanusiaan, dan bentuk
perlawanannya itu: ada yang melalui estetisme; ada yang menjadi saksi; bahkan
ada yang melawan. Tanpa menengok kepada seruan “Kita harus meningkatkan dari
sastra perlawanan, menjadi sastra yang melawan”, maka sastra yang mencerahkan
secara niscaya mengandung kedua resiko tersebut sebab perubahan itu sendiri
bagian dari berjalannya sejarah, berjalannya hukum alam.[1]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa sastra pencerahan adalah sastra yang bukan hanya
rentetan bunyi tidak bermakna atau bunyi yang sulit dimaknai tapi yang
terpenting adalah memiliki makna, menampilkan realitas kehidupan. Kedua sastra
pencerahan mengandung religiositas dalam setiap lariknya. Religiositas ada yang
tumbuh sebab religi, dan ada yang
tidak sebab religiositas itu perasaan keagamaan (menurut William James), atau
penghayatan terhadap hidup (menurut Y.B. Mangunwijaya). Ketiga sastra
pencerahan hendaknya tidak mengandung unsur “sastra koran bekas”. Maksudnya
sastra yang hanya mementingkan “asal dimuat” pada media cetak. Berjalan di
tempatnya sastra kita hari ini, ada keterkaitan erat dengan tiadanya kritik
sastra, lantas sastrawan menuduh kritikus atau akademisi sebagai mandul.
Bagaimana mungkin memberi apresiasi, kritik, terhadap “sastra koran bekas”?
Tiadanya kritik justru disebabkan pada tiadanya karya sastra yang laya
diperhitungkan oleh kritik. Keempat, sastra pencerahan selalu melawan
penjajahan kemanusiaan.
sangat membantu sekali gan..terima kasih. silakan kunjungi balik di sini.
BalasHapusTerima kasih telah membaca ya..
Hapus