Indonesia
Sample text
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Advertising
Translate
Social Icons
Labels
Followers
About Me
- Septian Cahyo Putro
- Depok, Jawa Barat, Indonesia
- Pendidik di Bizsmart School Depok
Labels
Featured Posts
Archive for 2013
Manusia dan Bahasa
Bahasa adalah
aspek paling fundamental dalam kehidupan manusia. Segala hal dalam hidup ini
berkaitan dengan bahasa. Coba sebutkan hal apa yang tidak berkaitan dengan
bahasa? Manusia butuh bahasa untuk melanjutkan hidupnya, mempertahankan
budayanya, dan menciptakan pembaharuan. Manusia dan bahasa itu sangat lekat
hubungannya. Maka dari itu jika masih ada yang meremehkan bahasa, berarti ia
menyangkal keberadaannya sendiri. Karena tiap manusia tercipta salah satunya
karena bahasa.
Setiap segi
ilmu pengetahuan melibatkan bahasa sebagai sarana penggali, pengembangan, dan
penyebarannya. Bayangkan jika seorang ahli fisika, ahli kimia, guru besar, ahli
teknologi informasi tidak menguasai bahasa. Bagaimana mungkin penemuan dan ilmu
mereka akan dipahami oleh orang lain. Tentunya ilmu dan penemuan mereka
hanyalah menjadi onggokan sampah yang tak dikenal manusia. Oleh karena itu,
sebelum mereka menyelami lebih dalam bidangnya masing-masing, mereka wajib
menguasai bahasa.
Bahasa itu
ibarat nafas, jarang kita sadari keberadaannya karena hal itu adalah hakikat
alamiah seorang manusia. Semenjak lahir mereka sudah mengusai bahasa pertama
mereka (bahasa ibu). Penguasaan bahasa ini menurut Noam Chomsky dikarenakan
setiap manusia mempunyai LAD (Language
Acquisition Device/Alat Pemerolehan Bahasa). Jadi secara otomatis mereka
akan menguasai bahasa yang sering didengarnya.
Manusia dan
bahasa adalah dua hal yang tak terpisahkan. Manusia tidak akan mampu bertahan
hidup tanpa bahasa. Coba saja Anda hidup sehari saja tanpa berkomunikasi dengan
orang lain, bagaimana rasanya? Tentu tidak akan betah karena manusia lahir
sebagai makhluk sosial, makhluk sosial butuh berkomunikasi dengan sesamanya,
dan untuk berkomunikasi dibutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi.
Pantaskah Puisi Dibatasi?
Beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah acara writing camp di daerah Cibinong, Jawa
Barat. Acara tersebut diselenggarakan oleh Griya Sastra dan Budaya Obor atas
prakarsa seseorang bernama Naning Pranoto. Ia adalah seorang penulis novel,
cerpen, dan puisi yang sudah mengabdikan dirinya pada dunia sastra selama bertahun-tahun.
Acara tersebut diisi oleh penulis-penulis berbakat serta pemateri yang cukup mumpuni di bidang sastra—meski saya baru kenal nama-namanya. Pesertanya terdiri dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa sastra, pengisi suara (dubber), pemain teater, hingga sekedar peminat sastra.
Materi yang paling saya tunggu-tunggu saat itu adalah
materi tentang proses kreatif menulis. Pembicara dari materi tersebut adalah
seorang dosen sastra bernama Nenden Suryani. Kesimpulan dari materinya adalah
untuk menjadi seorang penulis yang kreatif harus ditumbuhkan sikap aktif, rajin
membaca, dan sering bergaul dalam pribadi masing-masing. Seorang penulis harus
terus menjadi pengamat secara terus-menerus.
Lalu ia menjawab yang intinya adalah puisi yang bagus
itu memiliki beberapa kriteria yaitu strukturnya padu, tidak bermain kata-kata,
tidak gelap dan jelas maknanya, serta jernih. Lalu timbul dalam benak saya
apakah puisi harus selalu seperti itu, lalu bagaimana dengan puisi-puisi
Sutardji Calzoum Bachri atau Remy Silado? Ketika hendak saya tanyakan apa yang
ada di pikiran saya, moderator yang saat itu adalah Naning Pranoto telah
menutup diskusi dan melanjutkan dengan acara-acara hiburan semata.
Saya sendiri telah melakukan pengamatan ketika mengajar
penulisan puisi pada siswa tingkat SMP kelas 8. Mereka saya bebaskan untuk
menulis puisi, menulis dengan penghayatan, menulis apa yang ada dibenak mereka,
saya berkata, “tulislah apa yang ingin kalian tulis!” dan hasilnya luar biasa. Ternyata
sewaktu kelas 7 ketika mereka mendapat materi yang sama, sang guru membatasi
kreasi mereka. Gurunya yang menentukan tema, menentukan, bait dan lariknya,
menentukan gaya bahasanya, bahkan menetukan persajakannya. Hasilnya jauh dari
kata luar biasa. Lalu pantaskah puisi dibatasi?
Pagi harinya setiap peserta diberikan kesempatan
membuat sebuah puisi dengan tema yang telah ditentukan oleh Naning Pranoto.
Puisi yang dianggap bagus—mungkin lebih tepat enak didengar—akan mendapat
hadiah sebuah buku dari beliau. Saya kemudian membacakan sebuah puisi milik
teman saya yang larik awalnya seperti ini.
Hujan melesat
menembus dada
....
Larik selanjutnya saya lupa namun jumlah seluruh larik
hanya ada tiga. Setelah saya membaca ia pun bertanya, “apakah hujan bisa
melesat? Bukankah hujan itu jatuh dari langit ke bumi? Kalau melesat itu anak
panah, kalau hujan tidak tepat dengan kata melesat, coba perbaiki kosakata
tersebut. Meski bebas tapi dalam pemilihan bahasa harus sesuai dengan logika.”
Lalu, bukankah puisi itu sastra? Dan dalam sastra kita
bisa bebas berimajinasi. Kita bisa membayangkan apa saja dalam sastra. Fungsi
penting sastra adalah menjaga bahasa bukan menjaga realitas tetap seperti
realitas. Lalu mengapa harus dibatasi? Bagi kita manusia, hujan mungkin tidak
melesat tapi bagi semut-semut kecil, hujan itu melesat dari langit sama seperti
ketika kita melihat meteor dari luar angkasa. Saya rasa tidak perlu ada kosakata
yang dibenarkan dalam puisi tersebut.
Bagi saya pribadi pembatasan terhadap puisi tidak
pernah menghasilkan sebuah inovasi. Pemikiran-pemikiran konservatif akan terus
berkembang jika tidak ada seorang inovator. Bayangkan jika tidak ada Chairil
Anwar yang mendobrak tradisi puisi lama Sutan Takdir Alisjahbana, sampai saat
ini kita menulis puisi masih mengikuti gaya beliau.
Sastra itu merdeka, tidak seperti politik karena
politik itu licik. Maka sastra harus membebaskan imajinasi jangan picik seperti
politik. Puisi yang bagus itu relatif, tidak pernah ada standar mutlak baginya.
Sedang bagi saya puisi yang bagus adalah puisi yang mengandung unsur inovasi
dan mencerahkan bagi pembacanya.
Dispersepsi Apresiasi Sastra
Apresiasi sastra dari zaman pendidikan Belanda hingga
saat ini tidak pernah berkembang. Selalu saja guru-guru sastra di sekolah
menengah hanya mengajarkan sastra sebatas teori-teorinya saja. Mereka hanya
berkutat pada pengertian unsur-unsur intrinsik tanpa bersentuhan langsung
dengan karyanya. Tidak dipungkiri bahwa tanpa mengetahui teori tentu
siswa-siswa sekolah menengah tidak akan mampu memulai kegiatan apresiasi.
Namun, ketika seorang guru sastra terus berkutat tentang teori, tentang
pengertian-pengertiannya tanpa menyuguhkan karya sastra kepada siswanya tentu
mereka tidak akan mampu menikmati hakikat apresiasi yang sesungguhnya.
Bukankah tujuan dari pembelajaran Sastra Indonesia
sesuai dengan Kurikulum tahun 2004 adalah (1) agar peserta didik mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia? Manakah tujuan
pembelajaran sastra yang berbunyi “agar peserta didik memahami definisi
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra?”
Menurut Sapardi Djoko Damono siswa-siswa di Indonesia
sejak zaman penjajahan Belanda dulu tidak pernah memiliki waktu luang untuk
menikmati apa yang disebut apresiasi sastra. Hal itu dikarenakan sejak zaman
Belanda dulu mereka dijejali muatan kurikulum pendidikan yang sangat padat
sehingga siswa tidak ada waktu lagi untuk bersenang-senang dengan karya sastra.
Tidak jauh berbeda dengan saat ini, kurikulum di
Indonesia menuntut siswanya menjadi robot yang mampu menerima semua pelajaran
baik yang disukai maupun yang tidak disukai. Pilihannya hanya dua menerima atau
tidak lulus. Sehingga ketertarikan mereka terhadap karya sastra itu sendiri
semakin berkurang.
Ditambah lagi jika guru sastranya tidak menyukai karya
sastra. Makin malanglah nasib siswa-siswa sekolah menengah yang tidak bisa
menikmati apresiasi sastra. Padahal dari karya sastra siswa dapat belajar
banyak hal tentang kehidupan karena pada dasarnya karya sastra adalah miniatur
kehidupan. Karya sastra yang tepat dapat memperhalus budi seseorang dan bahkan
memberikan mereka sebuah pencerahan. Seperti yang dikatakan Riris K.
Toha-Sarumpaet, “dengan sastra menjadi manusia.”
Apresiasi sastra bukanlah sebatas kegiatan menganalisis
siapakah tokoh utama, bagaimana alurnya, apa sudut pandangnya, bagaimana
sifat-sifat tokohnya, atau sekedar mencari tema sebuah karya sastra. Tapi lebih
dari itu, melalui kegiatan tersebut dapat diungkap apa makna sesungguhnya
sebuah karya sastra, apa pesan yang ingin disampaikan pengarang, bagaimana
penyampaian pesan tersebut, bagaimana keterkaitan satu tokoh dengan tokoh
lainnya dan ditutup dengan komentar mengenai kelebihan dan kekurangan karya.
Pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai karya sastra itu sendiri justru lebih
penting ketimbang sekedar memahami unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya.
Kegiatan apresiasi itu sendiri hendaknya dimulai dengan menanamkan motivasi
pada diri siswa untuk menyukai membaca karya sastra. Karena apresiasi terbesar
bagi seorang sastrawan adalah membaca karyanya.
Kemudian terkait evaluasi terhadap hasil apresiasi sastra
Maman S. Mahayana menjelaskan bahwa dalam soal-soal terkait apresiasi sastra
harus dihindari jawaban yang pilihannya sudah tersedia—misalnya pilihan ganda
atau sekedar benar/salah—untuk membentuk daya kreatifitas siswa. Pilihan
jawaban yang sudah tersedia hanya akan menghasilkan pemikiran yang kerdil dari
siswanya. Padahal seperti kita ketahui karya sastra itu multitafsir. Biarkan
siswa menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apresiasi sastra
itulah yang dinamakan kegiatan apresiasi! Sampaikan pembelajaran sastra dengan
bersemangat dan menarik agar mereka bisa menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk kehidupannya.
PRAM: TETRALOGI BURU, GADIS PANTAI, AROK DEDES, DAN BUKAN PASAR MALAM
Masih terkenang ketika saya pertama kali membaca novel
Bumi Manusia, awalnya bingung memang, tapi setelah saya menyelesaikannya saya
menemukan pelajaran-pelajaran berharga dalam hidup. Lalu saya lanjutkan dengan
membaca Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan terakhir Rumah Kaca. Tetralogi
Buru adalah sebuah mahakarya Pram. Ia mengajarkan nasionalisme, jangan mau
diinjak-injak bangsa lain! Kita harus bangkit, melawanlah setidak-tidaknya
melawan dengan hati!
Saya lanjutkan membaca Arok Dedes, Gadis Pantai, dan
terakhir Bukan Pasar Malam. Saya sangat menyukai Arok Dedes, Pram menolak
segala bentuk gaib yang menyertai cerita tersebut, dan menciptakan
pandangan-pandangan modern tentang kehidupan. Sampai-sampai saya bercita-cita
untuk menjadi seorang Arok (salah satu tokoh dalam novel itu). Semua kisah gaib
yang menyertai cerita tersebut diubah Pram menjadi kisah-kisah rasional yang
menjadikan cerita dapat diterima akal sehat. Saya pikir, Arok Dedes adalah
novel sejarah Pram yang terbaik.
Selanjutnya Gadis Pantai, novel ini mengisahkan
tentang Bendoro dan si Gadis Pantai yang diangkat sebagai Nyai atau gundik. Melalui
novel ini Pram berusaha mengubah paradigma pembaca bahwa tidak hanya orang
Belanda saja yang menjajah Indonesia, tapi orang Indonesia juga menjajah
sebangsanya sendiri. Mereka merasa berbeda dengan orang Indonesia yang lain
karena mereka punya kekuasaan yang membuatnya disegani. Mereka justru menjadi
sang penjilat pantat Belanda dan melecehkan sebangsanya. Merekalah golongan
para priyayi yang tega menari di atas ratapan anak negeri. Gadis Pantai, sebuah
novel yang merekam zaman.
Terakhir adalah novel Pram yang cukup tipis yaitu
Bukan Pasar Malam. Melalui novelnya ini Pram mengungkapkan sisi romantisnya. Inilah
sebuah novel yang benar-benar mengisahkan kehidupan Pram. Sebuah karya yang
menceritakan kematian sang ayah. Pram yang begitu keras menyuarakan realisme
sosialis ternyata “cengeng” juga. Ia berkali-kali menangis dalam novel ini. Tentu
wajar saja, ayahnya meninggal setelah ia menghardiknya dengan kata-kata yang
cukup kasar dalam salah satu suratnya (Brieven).
Rasa bersalah sangat mendalam dialami Pram dalam novel ini, rasa bersalah yang
membawanya ke dalam pusaran romantisme.
Tentu masih sangat banyak pelajaran-pelajaran berharga
dari novel-novel Pram yang lain. Tidak mengherankan ia menjadi kandidat
penerima nobel dalam bidang sastra dan satu-satunya di Asia. Suara lantang
terdengar di Amerika, Jerman, Rusia, Perancis, Jepang, hingga negeri tetangga
Malaysia. Novelnya menjadi bacaan wajib di berbagai negara maju. Tapi di
Indonesia, hanya desahan-desahan Pram saja yang terdengar. Saya sendiri
mengakui baru mengenalnya saat duduk di bangku kuliah, saat sekolah dulu tak
pernah saya baca di buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengenai
Pram dan karya-karyanya. Bahkan sampai sekrang, Pram seolah haram bagi
pendidikan sastra di sekolah, mungkin karena ia pernah menjadi anggota Lekra
yang notabene lembaga budaya milik Komunis.
Mengapa Pram tidak dikenalkan oleh negara kita sejak
sekolah menengah? Karena kita adalah bangsa yang tidak tahu diri, bangsa
konsumtif, bangsa kuli, dan bangsa penjilat. Itulah julukan Pram bagi
Indonesia. Bahkan nama Indonesia adalah nama yang tidak pantas, menurutnya nama
tersebut adalah pemberian bangsa asing. Lalu kapan kita tidak lagi menjadi
bangsa konsumtif dan tidak produktif? Kapan kita tidak lagi menjadi bangsa kuli
dan kuli bagi bangsa-bangsa?
Tag :
Pramoedya Ananta Toer,