Archive for April 2013
PRAM: TETRALOGI BURU, GADIS PANTAI, AROK DEDES, DAN BUKAN PASAR MALAM
Masih terkenang ketika saya pertama kali membaca novel
Bumi Manusia, awalnya bingung memang, tapi setelah saya menyelesaikannya saya
menemukan pelajaran-pelajaran berharga dalam hidup. Lalu saya lanjutkan dengan
membaca Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan terakhir Rumah Kaca. Tetralogi
Buru adalah sebuah mahakarya Pram. Ia mengajarkan nasionalisme, jangan mau
diinjak-injak bangsa lain! Kita harus bangkit, melawanlah setidak-tidaknya
melawan dengan hati!
Saya lanjutkan membaca Arok Dedes, Gadis Pantai, dan
terakhir Bukan Pasar Malam. Saya sangat menyukai Arok Dedes, Pram menolak
segala bentuk gaib yang menyertai cerita tersebut, dan menciptakan
pandangan-pandangan modern tentang kehidupan. Sampai-sampai saya bercita-cita
untuk menjadi seorang Arok (salah satu tokoh dalam novel itu). Semua kisah gaib
yang menyertai cerita tersebut diubah Pram menjadi kisah-kisah rasional yang
menjadikan cerita dapat diterima akal sehat. Saya pikir, Arok Dedes adalah
novel sejarah Pram yang terbaik.
Selanjutnya Gadis Pantai, novel ini mengisahkan
tentang Bendoro dan si Gadis Pantai yang diangkat sebagai Nyai atau gundik. Melalui
novel ini Pram berusaha mengubah paradigma pembaca bahwa tidak hanya orang
Belanda saja yang menjajah Indonesia, tapi orang Indonesia juga menjajah
sebangsanya sendiri. Mereka merasa berbeda dengan orang Indonesia yang lain
karena mereka punya kekuasaan yang membuatnya disegani. Mereka justru menjadi
sang penjilat pantat Belanda dan melecehkan sebangsanya. Merekalah golongan
para priyayi yang tega menari di atas ratapan anak negeri. Gadis Pantai, sebuah
novel yang merekam zaman.
Terakhir adalah novel Pram yang cukup tipis yaitu
Bukan Pasar Malam. Melalui novelnya ini Pram mengungkapkan sisi romantisnya. Inilah
sebuah novel yang benar-benar mengisahkan kehidupan Pram. Sebuah karya yang
menceritakan kematian sang ayah. Pram yang begitu keras menyuarakan realisme
sosialis ternyata “cengeng” juga. Ia berkali-kali menangis dalam novel ini. Tentu
wajar saja, ayahnya meninggal setelah ia menghardiknya dengan kata-kata yang
cukup kasar dalam salah satu suratnya (Brieven).
Rasa bersalah sangat mendalam dialami Pram dalam novel ini, rasa bersalah yang
membawanya ke dalam pusaran romantisme.
Tentu masih sangat banyak pelajaran-pelajaran berharga
dari novel-novel Pram yang lain. Tidak mengherankan ia menjadi kandidat
penerima nobel dalam bidang sastra dan satu-satunya di Asia. Suara lantang
terdengar di Amerika, Jerman, Rusia, Perancis, Jepang, hingga negeri tetangga
Malaysia. Novelnya menjadi bacaan wajib di berbagai negara maju. Tapi di
Indonesia, hanya desahan-desahan Pram saja yang terdengar. Saya sendiri
mengakui baru mengenalnya saat duduk di bangku kuliah, saat sekolah dulu tak
pernah saya baca di buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mengenai
Pram dan karya-karyanya. Bahkan sampai sekrang, Pram seolah haram bagi
pendidikan sastra di sekolah, mungkin karena ia pernah menjadi anggota Lekra
yang notabene lembaga budaya milik Komunis.
Mengapa Pram tidak dikenalkan oleh negara kita sejak
sekolah menengah? Karena kita adalah bangsa yang tidak tahu diri, bangsa
konsumtif, bangsa kuli, dan bangsa penjilat. Itulah julukan Pram bagi
Indonesia. Bahkan nama Indonesia adalah nama yang tidak pantas, menurutnya nama
tersebut adalah pemberian bangsa asing. Lalu kapan kita tidak lagi menjadi
bangsa konsumtif dan tidak produktif? Kapan kita tidak lagi menjadi bangsa kuli
dan kuli bagi bangsa-bangsa?
Tag :
Pramoedya Ananta Toer,
Sastra Asli vs Sastra Terjemahan
Bicara tentang sastra seolah takkan ada habisnya.
Sastra tercipta sebagai buah pikir seseorang untuk merespons segala sesuatu
yang ada di sekitar (lingkungannya). Sastra adalah miniatur kehidupan yang
mewujudkannya tidak hanya berdasarkan fakta tapi membingkainya dengan ‘kebohongan’
yang tampak indah. Tidak mengherankan jika Hamsad Rangkuti berkata, “sastra
adalah kebohongan.”
Dewasa ini, banyak sastra-sastra terjemahan yang masuk
ke negeri kita Indonesia. Karya-karya tersebut tentunya membawa pengaruh
tersendiri bagi dunia kesastraan Indonesia. Tentu saja ada pengaruh positif dan
negatif. Pengaruhnya dirasakan langsung oleh para sastrawan lokal. Bagi pembaca
saya rasa pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan.
Sastra terjemahan yang membanjiri dunia kesastraan
Indonesia secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi identitas diri
sastra nasional sendiri. Bahkan menghilangkan tradisi dan jati diri sastra
daerah. Sebut saja novel-novel Salah Asuhan, Belenggu, dan Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijk yang tidak lagi dimuat—meskipun hanya sebagai kutipan—pada buku-buku
paket pelajaran Sastra Indonesia. Penulis buku lebih suka mencantumkan kutipan
novel “Harry Potter” dibandingkan dengan novel-novel tersebut. Hal itu tentu
tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena memperluas wawasan dan khazanah
sastra siswa adalah hal yang utama. Namun, akankah novel-novel Indonesia itu
terlupakan kaum terpelajar? Seperti mereka melupakan Pram—nominator Nobel satu-satunya
Asia dalam bidang sastra—dan karya-karyanya.
Saya rasa sastra terjemahan yang masuk ke Indonesia
harus dibatasi karena sastrawan lokal sudah cukup banyak melahirkan karya-karya
yang bagus meski belum mampu menembus kancah internasional. Jika sastra
terjemahan semakin banyak masuk ke Indonesia dan ternyata sastra terjemahan
jauh lebih baik dari sastra nasional sendiri maka akan banyak sastrawan muda
dan berbakat frustasi karena karyanya yang tidak lagi diminati oleh masyarakat.
Mereka akan terkubur dalam jajahan sastra terjemahan.
Namun, pembatasan yang dilakukan tidak boleh terlalu
berlebihan, sampai melarang sastra terjemahan masuk ke Indonesia. Sastrawan
lokal juga perlu belajar dari sastra terjemahan yang umumnya lebih bersifat
universal. Selain itu, sastra terjemahan juga dapat memotivasi dan
menginspirasi sastrawan loka untuk terus mengembangkan karyanya.
Politik itu Licik, Sastra itu Merdeka?
Politik
itu Licik, Sastra itu Merdeka?
Politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan
atau kenegaraan (seperti tata sistem pemerintahan, dasar pemerintahan)/segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain. Pengertian itulah yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
Manusia adalah insan politik yang tak dapat terlepas
dari hal tersebut. Jika bukan subjek politik ia pasti menjadi objek politik.
Oleh karena itu, politik tidak bisa dihindari oleh siapapun. Hal yang benar
bukan menghindar dari politik tapi menciptakan politik yang sehat.
Paradigma negatif tentang politik harus dihapuskan dari
semua generasi maupun kalangan. Politik tidak licik tapi pelaku politiklah yang
sering membuat kelicikan dalam politik, menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuannya. Para oknum politik itulah yang pada akhirnya mengukir paradigma
negatif di kalangan masyarakat mengenai politik sehingga banyak dari mereka
yang mengatakan, “ah saya ga percaya sama politik!”
Selanjutnya mengenai sastra, apakah benar sastra itu
merdeka? Saya rasa tidak. Begitu banyak kekangan dan aturan mengenai sastra
yang baik, sastra yang indah, sastra yang dulce
et utile. Begitu banyak buku-buku mengenai teori sastra yang membatasi pemaknaan
seseorang terhadap sastra. Dan banyak pula para Mpu atau Mbah Sastra barangkali
yang menentukan sabdanya bahwa yang ini bagus, yang ini jelek.
Dalam bersastra, baik itu hanya sebagai pencipta atau
sekedar penikmat seharusnya kemerdekaanlah yang harus dijunjung tinggi. Merdeka
dalam artian bebas untuk mencipta dan bebas untuk memberi makna, karena dua
konvensi yang harus dipegang teguh yaitu the
author is god and the reader is god.
Sastra adalah bahasa kehidupan, dengan sastra seorang
berusaha mengekspresikan kesannya. Kesan adalah milik pribadi pengarang, cara
pengungkapannya pun terserah pengarang, jadi kalian yang ingin menulis sastra,
tulislah. Jangan takut untuk menulis. Tulis saja apa yang ada dipikiranmu,
tidak akan ada yang salah, karena kaulah Tuhannya.
Lalu politik dan sastra? Sastra sering kali dijadikan
media dalam berpolitik. Pada zaman Balai Pustaka dan orde lama dulu sastra
sering dilarang beredar karena mengandung paham politik yang berbahaya bagi
kelangsungan pemerintah (menurut para pengecut di balik meja kuasanya). Sebut
saja karya Abdul Muis yang sempat ditahan Balai Pustaka selama satu tahun
karena menjelek-jelekkan keturunan Belanda atau karya-karya Pramoedya Ananta
Toer yang dimusnahkan! Karena disangka mengandung paham komunis.
Namun ternyata pelarangan itu justru membuat pamor
karya sastra semakin meningkat di kalangan pembaca. Saya pikir inilah salah
satu manfaat yang diberikan politik terhadap sastra. Semakin dilarang, semakin
dicari! Sastra menyuarakan kebebasan dan politik berusaha mencari-cari
kebebasan itu. Kalau begitu sastra dan politik saling membutuhkan.