- Back to Home »
- Analisis Pesan Novel Salah Asuhan: Waspada Globalisasi!
Posted by : Septian Cahyo Putro
Rabu, 06 Maret 2013
Analisis Pesan Novel Salah Asuhan: Waspada Globalisasi!
Oleh:
Septian Cahyo P.
Abdoel Moeis
yang lahir di sungai Puar, Bukit Tinggi, Sumatra Barat 3 Juli 1883, meninggal
di Bandung 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang
sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia
(sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia),
Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada
tahun 1918 mewakili Central Sarekat Islam.
Salah satu karya beliau yaitu novel Salah Asuhan telah difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972. Novel
tersebut awalnya ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya bertentangan dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh Balai Pustaka. Tiga aturan Balai Pustaka
yaitu:
1. Tidak
menggunakan bahasa Melayu Rendah
2. Tidak
bertentangan dengan ideologi Balai Pustaka (Belanda)
3. Tidak
menjelek-jelekkan bangsa tertentu
Penelitian yang dilakukan oleh Jamil Bakar membuktikan
bahwa novel Salah Asuhan yang beredar
di tangan pembaca, ternyata tidak sama dengan naskah aslinya. Hal ini
dikarenakan dalam naskah asli Salah
Asuhan digambarkan sosok Corrie sebagai wanita yang sangat menyukai dunia
pergaulan bebas. Padahal Corrie adalah wanita keturunan Eropa (Perancis). Tentu
Balai Pustaka yang ketika itu dibawah kuasa Belanda tidak mengizinkan naskah
ini terbit.
Akhirnya demi terbitnya naskah tersebut, Moeis
melakukan negosiasi dengan Balai Pustaka. Ia bersedia mengubah watak tokoh
Corrie. Lalu mengapa Abdoel Moeis tidak menerbitkan karyanya pada penerbit
lain? Padahal kala itu terdapat cukup banyak penerbit swasta seperti yang
tercatat dalam penelitian Tasai, yaitu pada tahun 1920an antara lain, Penghidupan, Warna Warta, Cerita Melayu,
Panorama, Mustika. Hal ini karena dibandingkan dengan penerbitan swasta
itu, tentu saja Balai Pustaka tampak lebih “terhormat” dan mapan sehingga
wajarlah apabila banyak tokoh pergerakan menerbitkan karangan lewat Balai
Pustaka dengan segala persyaratannya.[1]
Novel Salah
Asuhan menceritakan seorang pelajar pribumi bernama Hanafi. Hanafi
adalah seorang laki-laki muda asli Minangkabau yang berpendidikan tinggi dan
berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya
sendiri. Dari kecil Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee, gadis Indo-Belanda
yang amat cantik parasnya. Karena selalu bersama-sama mereka pun saling
mencintai. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa.
Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi
oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan
Minangkabau dan pergi ke Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk
menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya.
Hanafi merasa bahwa hidupnya hampa tanpa kehadiran Corrie,
selain itu ia pun harus membayar budi dari pamannya yang telah ikut membiayai
sekolahnya. Akhirnya ia menyetujui permintaan dari ibunya untuk menikahi
Rapiah. Rapiah adalah gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat
pada tradisi dan adatnya. Ia merupakan sepupu dari Hanafi. Dalam pernikahannya
dengan Rapiah, ia menjalani dengan penuh terpaksa. Sehingga di rumah, Rapiah
hanya diperlakukan seperti pembantu. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak
laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila dan ia dianjurkan
berobat ke Betawi oleh dokter. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan
Corrie. Singkat cerita, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada
ibunya di dalam surat itu Hanafi memberitahukan bahwa dia telah diangkat di
Depatemen BB sekaligus menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat
sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal
dengan Ibunya Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia,
sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya
Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Di sana Corrie
sakit kolera dan meninggal dunia, sedangkan Hanafi sangat menyesal telah
menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang
kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, disana Hanafi hanya diam
saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Akhirnya ia memilih
mengakhiri hidupnya dengan meminum pil sublimat.
Dilihat dari intrinsiknya novel Salah Asuhan memang tidak terlalu istimewa. Ada tokoh utama, ada tokoh minor, ada narasi dengan alur maju. Narasinya
dilakukan dengan mengembangkan pikiran tokoh utama. Namun,
jika dipandang dari segi ekstrinsik novel ini memiliki pesan-pesan yang sangat
relevan bagi pemuda Indonesia kala itu, dan beberapa pesan bahkan dapat
ditujukan pada generasi muda masa kini. Pesan yang ingin disampaikan Moeis
dalam novel Salah Asuhan salah
satunya adalah waspada globalisasi!
Pesan ini disampaikan secara tersirat oleh Abdoel Moeis
melalui watak tokoh Hanafi yang begitu mengagungkan Eropa setelah mengenyam pendidikan
Belanda semenjak kecil. Gaya hidup dan pola pikir modern yang berarti
kebelanda-belandaan bukan hanya milik Hanafi, tetapi juga milik sebagian
generasi muda terpelajar Indonesia kala itu. Melalui watak Hanafi ini, Abdoel Moeis juga mempermasalahkan
pandangan kaum pribumi terhadap bangsa Eropa. Mereka dinilai terlalu berlebihan
memandang hebat terhadap segala sesuatu yang berbau Eropa. Tidak sedikit dari
mereka yang akhirnya melupakan kebudayaan sendiri, seperti yang dilakukan oleh
Hanafi.
Sikap ambivalen
Hanafi yang kembali pada adatnya menjelang kematiannya menyiratkan pesan bahwa
sejauh apapun kita pergi dan menyelami negeri orang, pasti ada saat ketika kita
rindu akan bangsa kita, tanah kelahiran kita. Inti dari pesan tersebut adalah
jangan pernah melupakan budaya sendiri. Entah disengaja atau tidak Moeis telah
mengingatkan akan bahaya kebudayaan Barat yang sekarang identik dengan kata
“globalisasi”. Karena salah satu dampak negatif dari globalisasi adalah
melupakan kebudayaan sendiri. Jika gagasan ini dibenarkan tentu novel Salah Asuhan telah berhasil mengangkat
pesan tersebut puluhan tahun silam, maka patut kita akui keunggulannya.
Mungkin di era
sekarang, Hanafi dapat diibaratkan sebagai generasi muda Indonesia, Corrie
sebagai globalisasi itu sendiri, dan Rapiah sebagai kebudayaan asli Indonesia.
Generasi muda Indonesia sebagian besar mencintai globalisasi hal ini tentu
tidak salah, namun sayang kecintaannya terhadap globalisasi tidak diimbangi
dengan kecintaan terhadap budaya sendiri. Bahkan justru sebagian menolak untuk
bersinggungan dengan budaya Indonesia yang mereka anggap kuno dan menurunkan
derajat mereka.
Penyebab inilah
yang membuat beberapa budaya Indonesia diakui oleh negara lain seperti Malaysia
yang mengklaim Reog Ponorogo dan wayang adalah budaya asli mereka. Hal seperti
itu wajar saja terjadi karena ketidakpedulian bangsa Indonesia terhadap
budayanya.
Dampak negatif
globalisasi yang lainnya antara lain, budaya asli Indonesia semakin tergerus
oleh paradigma modern dunia Barat, generasi pemuda saat ini semakin kehilangan
jati dirinya, dan selalu memandang segala yang datang dari mancanegara terutama
negara-negara maju dan adidaya sebagai suatu kelebihan yang tak tertawar lagi. Dampak
tersebut umumnya menyerang negara berkembang seperti Indonesia.