Indonesia
Sample text
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Advertising
Translate
Social Icons
Labels
Followers
About Me
- Septian Cahyo Putro
- Depok, Jawa Barat, Indonesia
- Pendidik di Bizsmart School Depok
Labels
Featured Posts
Archive for Maret 2013
Apa Perbedaan Kami dengan Kita??
Jika diperhatikan sekilas kedua kata tersebut memang sama maknanya. Dalam
penggunaan sehari-hari pun orang sering mencampuradukkan penggunaan kedua kata
ganti orang tersebut. Bahkan sering kali kita perhatikan penutur bahasa Betawi
menggunakan kata ganti "kita" untuk menyebut dirinya. Perhatikan saja
kutipan berikut.
Emang mpok kaga mau ikutan arisan lagi?
Ya, kita sih mau-mau aje, cuman duitnye kaga ade.
Nah, dari contoh di atas kita kembali memperoleh sebuah pengertian mengenai makna
kata ganti "kita" yaitu bermakna "saya" atau
"aku". Lalu kalau begitu apa bedanya dengan kedua kata tersebut?
Apakah benar kata ganti "kita" memiliki makna yang sama dengan
"kami"? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perhatikan
contoh percakapan berikut ini.
Dian, Rudi, Tono, kalian mau kemana? tanya Rani.
Kami mau ke Dufan Ran, kamu mau ikut? jawab Tono.
Wah, boleh deh aku ambil tasku dulu ya sebentar di rumah, nanti kita
berangkat bersama-sama, jawab Rani.
Oke Ran, kami tunggu di taman ya! kata Dian.
Dari percakapan di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat perbedaan distribusi pada kata ganti "kami" dan "kita". Kata ganti "kami" bermakna tidak mengajak lawan bicara untuk ikut dalam konteks peristiwa yang sedang terjadi sedangkan kata ganti "kita" bermakna mengajak lawan bicara untuk ikut dalam konteks peristiwa yang sedang terjadi. Masih bingung? Coba perhatikan lagi kutipan di atas dengan seksama!
Sedangkan untuk kata ganti "kita" yang bermakna aku atau saya pada penutur bahasa Betawi, hal tersebut tentu tidak sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Karena kata ganti "kita" bermakna jamak sedangkan aku atau saya bermakna tunggal.
Terimakasih, semoga bermanfaat.
Buang Koruptor pada Tempatnya
Buanglah
Koruptor pada Tempatnya
Kira-kira
di mana tempat yang tepat bagi koruptor? Tentu saja di penjara (bahkan banyak
yang bilang di neraka). Korupsi adalah kegiatan yang sangat hina. Dapat
dikatakan korupsi sama saja dengan memakan daging saudaranya sendiri. Lalu
pantaskah mantan koruptor itu diberi kursi jabatan yang empuk di pemerintahan?
KPK
sebagai lembaga pemberantas korupsi mati-matian menjaring para koruptor, tapi
ketika mereka bebas dari penjara secara santai mereka kembali mereka kembali
menduduki jabatannya dengan damai. Bagaiman koruptor bisa jera kalau kondisinya
seperti ini, yang ada mereka malah menjadi pengobar semangat bagi pelaku lain.
Seharusnya
dilakukan perombakan terhadap peraturan tentang pemberhentian PNS, mereka yang
terlibat korupsi sekecil apapun tidak boleh lagi menempati jabatannya. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan dan pebuatan korupsi
sudah pasti melanggar kesantunan tersebut, oleh karenanya koruptor itu dilarang
diberi tempat di pemerintah pusat atau daerah.
Upaya
pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, tidak akan menjadi
bersih, tanpa pejabat pemerintah yang bersih. Jadi, sudah saatnya pemerintah
melakukan “bersih-bersih” para pejabat pemerintah yang korupsi dan para
koruptor yang duduk nyaman di kursi jabatannya. Rakyat butuh pemimpin yang
terpercaya dan bebas dari borok korupsi.
Koruptor mending ke laut aje, jangan seperti
tikus got yang sembunyi di balik meja kekuasaan. Koruptor tidak layak ada di
pemerintahan, mereka itu sampah masyarakat dan sampah harus dibuang pada
tempatnya. Ganyang korupsi dan koruptor untuk Indonesia yang lebih baik.
Analisis Pesan Novel Salah Asuhan: Waspada Globalisasi!
Analisis Pesan Novel Salah Asuhan: Waspada Globalisasi!
Oleh:
Septian Cahyo P.
Abdoel Moeis
yang lahir di sungai Puar, Bukit Tinggi, Sumatra Barat 3 Juli 1883, meninggal
di Bandung 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang
sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia
(sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia),
Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada
tahun 1918 mewakili Central Sarekat Islam.
Salah satu karya beliau yaitu novel Salah Asuhan telah difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972. Novel
tersebut awalnya ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya bertentangan dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh Balai Pustaka. Tiga aturan Balai Pustaka
yaitu:
1. Tidak
menggunakan bahasa Melayu Rendah
2. Tidak
bertentangan dengan ideologi Balai Pustaka (Belanda)
3. Tidak
menjelek-jelekkan bangsa tertentu
Penelitian yang dilakukan oleh Jamil Bakar membuktikan
bahwa novel Salah Asuhan yang beredar
di tangan pembaca, ternyata tidak sama dengan naskah aslinya. Hal ini
dikarenakan dalam naskah asli Salah
Asuhan digambarkan sosok Corrie sebagai wanita yang sangat menyukai dunia
pergaulan bebas. Padahal Corrie adalah wanita keturunan Eropa (Perancis). Tentu
Balai Pustaka yang ketika itu dibawah kuasa Belanda tidak mengizinkan naskah
ini terbit.
Akhirnya demi terbitnya naskah tersebut, Moeis
melakukan negosiasi dengan Balai Pustaka. Ia bersedia mengubah watak tokoh
Corrie. Lalu mengapa Abdoel Moeis tidak menerbitkan karyanya pada penerbit
lain? Padahal kala itu terdapat cukup banyak penerbit swasta seperti yang
tercatat dalam penelitian Tasai, yaitu pada tahun 1920an antara lain, Penghidupan, Warna Warta, Cerita Melayu,
Panorama, Mustika. Hal ini karena dibandingkan dengan penerbitan swasta
itu, tentu saja Balai Pustaka tampak lebih “terhormat” dan mapan sehingga
wajarlah apabila banyak tokoh pergerakan menerbitkan karangan lewat Balai
Pustaka dengan segala persyaratannya.[1]
Novel Salah
Asuhan menceritakan seorang pelajar pribumi bernama Hanafi. Hanafi
adalah seorang laki-laki muda asli Minangkabau yang berpendidikan tinggi dan
berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya
sendiri. Dari kecil Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee, gadis Indo-Belanda
yang amat cantik parasnya. Karena selalu bersama-sama mereka pun saling
mencintai. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa.
Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi
oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan
Minangkabau dan pergi ke Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk
menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya.
Hanafi merasa bahwa hidupnya hampa tanpa kehadiran Corrie,
selain itu ia pun harus membayar budi dari pamannya yang telah ikut membiayai
sekolahnya. Akhirnya ia menyetujui permintaan dari ibunya untuk menikahi
Rapiah. Rapiah adalah gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat
pada tradisi dan adatnya. Ia merupakan sepupu dari Hanafi. Dalam pernikahannya
dengan Rapiah, ia menjalani dengan penuh terpaksa. Sehingga di rumah, Rapiah
hanya diperlakukan seperti pembantu. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak
laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila dan ia dianjurkan
berobat ke Betawi oleh dokter. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan
Corrie. Singkat cerita, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada
ibunya di dalam surat itu Hanafi memberitahukan bahwa dia telah diangkat di
Depatemen BB sekaligus menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat
sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal
dengan Ibunya Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia,
sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya
Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Di sana Corrie
sakit kolera dan meninggal dunia, sedangkan Hanafi sangat menyesal telah
menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang
kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, disana Hanafi hanya diam
saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Akhirnya ia memilih
mengakhiri hidupnya dengan meminum pil sublimat.
Dilihat dari intrinsiknya novel Salah Asuhan memang tidak terlalu istimewa. Ada tokoh utama, ada tokoh minor, ada narasi dengan alur maju. Narasinya
dilakukan dengan mengembangkan pikiran tokoh utama. Namun,
jika dipandang dari segi ekstrinsik novel ini memiliki pesan-pesan yang sangat
relevan bagi pemuda Indonesia kala itu, dan beberapa pesan bahkan dapat
ditujukan pada generasi muda masa kini. Pesan yang ingin disampaikan Moeis
dalam novel Salah Asuhan salah
satunya adalah waspada globalisasi!
Pesan ini disampaikan secara tersirat oleh Abdoel Moeis
melalui watak tokoh Hanafi yang begitu mengagungkan Eropa setelah mengenyam pendidikan
Belanda semenjak kecil. Gaya hidup dan pola pikir modern yang berarti
kebelanda-belandaan bukan hanya milik Hanafi, tetapi juga milik sebagian
generasi muda terpelajar Indonesia kala itu. Melalui watak Hanafi ini, Abdoel Moeis juga mempermasalahkan
pandangan kaum pribumi terhadap bangsa Eropa. Mereka dinilai terlalu berlebihan
memandang hebat terhadap segala sesuatu yang berbau Eropa. Tidak sedikit dari
mereka yang akhirnya melupakan kebudayaan sendiri, seperti yang dilakukan oleh
Hanafi.
Sikap ambivalen
Hanafi yang kembali pada adatnya menjelang kematiannya menyiratkan pesan bahwa
sejauh apapun kita pergi dan menyelami negeri orang, pasti ada saat ketika kita
rindu akan bangsa kita, tanah kelahiran kita. Inti dari pesan tersebut adalah
jangan pernah melupakan budaya sendiri. Entah disengaja atau tidak Moeis telah
mengingatkan akan bahaya kebudayaan Barat yang sekarang identik dengan kata
“globalisasi”. Karena salah satu dampak negatif dari globalisasi adalah
melupakan kebudayaan sendiri. Jika gagasan ini dibenarkan tentu novel Salah Asuhan telah berhasil mengangkat
pesan tersebut puluhan tahun silam, maka patut kita akui keunggulannya.
Mungkin di era
sekarang, Hanafi dapat diibaratkan sebagai generasi muda Indonesia, Corrie
sebagai globalisasi itu sendiri, dan Rapiah sebagai kebudayaan asli Indonesia.
Generasi muda Indonesia sebagian besar mencintai globalisasi hal ini tentu
tidak salah, namun sayang kecintaannya terhadap globalisasi tidak diimbangi
dengan kecintaan terhadap budaya sendiri. Bahkan justru sebagian menolak untuk
bersinggungan dengan budaya Indonesia yang mereka anggap kuno dan menurunkan
derajat mereka.
Penyebab inilah
yang membuat beberapa budaya Indonesia diakui oleh negara lain seperti Malaysia
yang mengklaim Reog Ponorogo dan wayang adalah budaya asli mereka. Hal seperti
itu wajar saja terjadi karena ketidakpedulian bangsa Indonesia terhadap
budayanya.
Dampak negatif
globalisasi yang lainnya antara lain, budaya asli Indonesia semakin tergerus
oleh paradigma modern dunia Barat, generasi pemuda saat ini semakin kehilangan
jati dirinya, dan selalu memandang segala yang datang dari mancanegara terutama
negara-negara maju dan adidaya sebagai suatu kelebihan yang tak tertawar lagi. Dampak
tersebut umumnya menyerang negara berkembang seperti Indonesia.
Esai Belenggu
Tono sebagai Tokoh Male Feminis dan Kontra Male Feminis dalam Novel Belenggu Karya Amijn Pane
Oleh:
Septian Cahyo P.
Teeuw berpendapat, Belenggu jauh lebih tinggi nilainya daripada kebanyakan penerbitan
Balai Pustaka, tetapi justru Balai Pustaka merasa perlu menolaknya dengan
alasan yang lemah. Balai Pustaka menolak novel ini untuk diterbitkan karena
bicara masalah perselingkuhan. Tema perselingkuhan kala itu masih menjadi tema
yang tabu bagi masyarakat Indonesia dan dianggap membuka aib bangsa Indonesia
sendiri.
Novel ini memiliki nilai kebaruan yang dapat dilihat
dari segi tema, gaya penceritaan pengarang, maupun bentuk kalimatnya. Dari segi
tema novel ini tidak lagi mengangkat masalah Timur dan Barat, perkawinan adat,
ataupun pertentangan kaum tua dan muda. Armijn mengisahkan konflik batin yang
dialami tokoh-tokohnya. Dilihat dari gaya penceritaannya novel ini berbeda dari
novel-novel terbitan Balai Pustaka sebelumnya. Armijn Pane adalah yang pertama
menampilkan arus gaya kesadaran. Sehingga dibutuhkan kesadaran dan perhatian
yang tinggi saat membaca novel ini. Armijn juga menampilkan kebaruan dalam hal
penulisan kalimat pada novelnya ini. Kalimat-kalimat dalam Belenggu pendek dan lugas.
Intisari dari novel ini adalah konflik batin antara
tokoh dokter Sukartono, Tini, dan Rohayah. Tono (suami Tini) yang sibuk sebagai
dokter akhirnya melalaikan tugasnya sebagai seorang suami. Sedangkan Tini yang
menyukai kegiatan-kegiatan sosial sibuk pula dengan kegiatannya sendiri. Ia
melupakan kedudukannya sebagai seorang istri dokter. Rumah tangga mereka
terbelah oleh egoisme masing-masing. Tono yang merasa kurang mendapat perhatian
dari istrinya bertemu Rohayah salah seorang pasiennya, dan akhirnya mereka
menjalin hubungan perselingkuhan. Rohayah begitu lembut dan penyayang membuat
Tono kerasan dengannya. Singkat
cerita, Tono dan Tini akhirnya bercerai. Tono yang berharap dapat menikah
dengan Rohayah tidak dapat mewujudkan keinginannya, karena Rohayah lebih
memilih meninggalkan Tono.
Di akhir cerita setiap tokoh menempuh jalan hidupnya
masing-masing. Tono meneruskan sekolah kedokterannya, Tini pergi ke Semarang
menjadi seorang aktivis sosial, sedangkan Rohayah pergi ke Nieuw Caledonie, meneruskan profesinya sebagai pekerja seks
komersial.
Watak tokoh Tono digambarkan dalam novel ini yaitu
dermawan, menyayangi anak-anak, pekerja keras bahkan sampai melupakan istrinya,
penyayang, romantis. Tono adalah seorang dokter yang rindu akan kasih sayang,
disebabkan istrinya Tini yang sangat kurang perhatian pada dirinya begitu pula
Tono yang jarang memperdulikan istrinya. Akibat dari kerinduan akan kasih
sayang itu, akhirnya Tono berselingkuh dengan Rohayah, bahkan berniat
menceraikan istrinya. Rohayah, seorang pekerja seks komersial, memiliki sifat
yang amat penyayang dan lembut, membuat Tono begitu menghargainya.
Sikap Tono dalam memperlakukan dua orang wanita ini
dapat dikatakan dua sifat yang bertolak belakang. Pertama, ia bersikap kontra male feminis terhadap Tini dan
kedua, ia bersikap male feminis
kepada Rohayah. Kedua sikap tersebut tergambar dengan jelas melalui watak Tono,
meski tidak terjadi secara mutlak. Maksudnya, tidak sepenuhnya Tono bersikap kontra male feminis terhadap Tini,
terkadang ia juga menunjukkan sikap male
feminis-nya kepada wanita itu, begitu pula sikapnya terhadap Rohayah.
Istilah male feminis bagi kalangan feminis di
Indonesia masih sangat baru dan belum terdengar akrab di telinga. Persoalannya
jelas, feminis di Indonesia dapat dikatakan baru berjalan kurang lebih 15 tahun
ini, tepatnya dimulai pada pertengahan tahun 1980-an. Itupun baru berupa
pergerakan feminisme dan belum sampai pada taraf studi yang intensif yang
berupa pengembangan wacana yang kritis dan analisis sifatnya, apalagi masalah feminis laki-laki.[1]
Kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan
terhadap perempuan lebih tepat dikatakan sebagai kelompok pro-feminis (male
feminis). Sebuah bentuk dekonstruksi, ketika istilah male feminis,
berarti akan ada paradoksal yang menyatakan kebalikannya dalam hal ini bisa
disebut kontra male feminis. Hal ini merupakan bentuk dari oposisi
biner. Kontra male feminis merupakan kebalikan dari male feminis.
Jika male feminis mempunyai sifat menghargai terhadap perempuan, maka kontra
male feminis adalah mempunyai sifat menentang perempuan.
Tono menunjukkan sikap kontra male feminis-nya
terhadap Tini. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Tono yang berselingkuh
dengan Rohayah. Apapun alasannya perselingkuhan adalah pengkhianatan.
Perselingkuhan itu menunjukkan sikap Tono yang tidak menghargai perempuan.
Bukti lain yang menunjukkan sikap kontra
male feminis Tono yaitu ketika ia kembali tidak menghargai Tini sebagai
istrinya. Ketika Tini sedang bermain piano di suatu pesta, Tono malah pergi
meninggalkannya untuk menemui Rohayah. Ketika itu, Tono hendak langsung pergi
namun diingatkan oleh temannya yang bernama Mardani untuk berpamitan dengan
Tini terlebih dahulu. Bila tidak diingatkan ia pasti akan langsung pergi. Tono
berpamitan kepada istrinya hanya dengan mengatakan, “Aku pergi...” (Belenggu,
hlm. 88).
Meski begitu, Tono juga menunjukkan sikap male feminis-nya terhadap Tini. Hal ini
dapat dilihat dari sikap Tono yang memberikan kebebasan bagi Tini untuk bergiat
dalam kegiatan sosial. Ia menghargai sikap sosialis Tini.
Selanjutnya mengenai sikap male feminis Tono terhadap Rohayah. Sikap tersebut dapat dilihat
melalui kutipan berikut:
“Dia
(Tono) mengangguk lalu pergi. Tetapi dia merasa kasihan juga meninggalkan Yah
seorang diri saja” (Belenggu,
hlm. 88).
Dalam hatinya Tono begitu menyayangi Rohayah, kutipan
di atas hanyalah salah satu bukti nyata kasih sayang Tono kepadanya. Ia tidak
mampu terlalu lama meninggalkan Rohayah. Bahkan ketika Tini pergi ke luar kota
ia sering menginap di rumah Yah. Selain sikap kasih sayangnya kepada Tini, ia
juga menghormati Tini karena kecerdasannya. Tini mengajarkan banyak hal kepada
Tono. Dengan seorang bekas pelacur, ternyata dokter Tono mampu ditandingi
perkataan dan pemikirannya. Kutipan berikut menunjukkan bahwa Rohayah adalah
perempuan yang cerdas, karena rajin membaca buku.
“Tuanku
banyak bukunya, dia suka membaca. Aku coba membaca, karena kulihat dia tenang
kalau membaca. Mulanya tiada lut, kemudian lambat laun hati jiwaku terpendam
oleh bacaan.”(Belenggu,
hlm. 50).
Sikap kasih
sayang dan penghormatan kepada Yah ini yang menjadikan Tono seorang tokoh male feminis. Meski begitu, ternyata
Tono juga menunjukkan sikap kontra male
feminis-nya terhadap Rohayah. Sikap ini ditunjukkan melalui kutipan
berikut:
“Tono
menghampirinya. Jarinya menunjuk muka Yah. Katanya dengan keras: “Sipatmu tidak
dapat berubah, kerbau suka juga kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu,
kembalilah engkau kesana.”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Tono memiliki dua
sifat feminis yang saling bertentangan. Mungkin ini adalah salah satu alasan
Jassin yang berpendapat “orang-orang yang
dilukiskan dalam roman ini hampir-hampir menyerupai karikatur, karena terlampau
dilebih-lebihkan; boleh jadi dengan sengaja, boleh jadi juga tidak...”
Penggambaran watak tokoh Tono cenderung tidak tegas dan tampak dibuat-buat.
[1] Veri
Dani Wardani, Male Feminis dan
Kontra Male Feminis dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari, Skripsi, (Universitas Negeri Semarang, 2005) Hlm. 21