Archive for Agustus 2016
Remy Silado: Nakal yang Tahu Aturan
Namanya saya kenal pertama kali di kelas Pengantar
Teori Sastra beberapa tahun lalu. Kala itu, cerita yang paling lekat dengannya
adalah tentang puisi mbeling-nya.
Secara perlahan Remy Silado semakin sering memasuki koleksi pengetahuan saya.
Dari yang awalnya saya kenal seorang penyair belakangan saya mengenalnya
sebagai penulis bidang kebahasaan yang tulisannya dimuat di rubrik Bahasa Kompas. Kata salah seorang redaktur
rubrik ini, sedikit yang mampu menulis hal kebahasaan dengan memukau, Remy
salah satunya. Yang tak kalah menarik saya kemudian mengenalnya sebagai penulis
naskah, sutradara, pemain teater, pencipta lagu, bahkan pelukis.
Remy Silado lahir di Makassar, 12 Juli 1945 dan
menghabiskan masa kecil di Semarang dan Solo. Tentang nama penanya, tentu sudah
banyak yang tahu. Konon, nama ini merupakan tanggal pertama kali ia mencium
perempuan (tanggal 23 bulan 7 tahun ‘61). Sumber lain menyebut nama ini berasal
dari chord pertama lirik lagu All My Loving karya The Beatles. Namun
belakangan, Remy mengakui nama ini ia buat asal-asalan.
Sejak sekolah dasar Remy sudah gemar dunia seni
terutama seni lukis. Sampai di sekolah menengah dan perguruan tinggi kegemaran
ini terus ditekuninya. Ia pernah mengenyam pendidikan di Akademi Kesenian
Surakarta dan Akademi Teater Nasional Indonesia. Karena dedikasinya yang tinggi
di bidang seni ia pernah diberi penghargaan Anugerah Satya Lencana Kebudayaan
dari pemerintah Republik Indonesia.
Kepakaran Remy di dunia sastra tak diragukan lagi. Lewat
tangan dinginnya telah lahir puluhan novel dan puisi. Salah satu novelnya yang
tentu kita semua mengenalnya karena pernah diangkat ke layar lebar yaitu Cha
Bau Kan. Yang menarik adalah ketika banyak orang menyesalkan keputusan Remy
mengizinkan novelnya diangkat ke layar lebar karena dikhawatirkan merusak isi
cerita, ia justru berkata dalam salah satu seminarnya di UI, “kita ke bioskop
untuk menonton film, bukan untuk menonton novel”.
Melalui puisi Remy membuat gempar dunia sastra sebagai
salah satu pelopor puisi mbeling atau
puisi yang tidak terpaku pada kaidah-kaidah sastra yang kaku. Ia
menjelaskan bahwa tidak ada batasan dalam sastra, semua orang dapat menulis
sastra. Melalui gerakan perpuisian macam ini, Remy telah
menentang penulisan puisi lirik ala Majalah Sastra Horison.
Hal lain lagi yang menarik dari seorang Remy adalah ia
selalu menulis karya dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Mulai
dari membongkar arsip tua di Perpustakaan Nasional hingga menelusuri pasar buku
tua di dalam dan luar negeri ia lakukan
setiap ingin membuat sebuah karya
tulis. Misalnya saja, salah satu tulisannya berjudul, “Kepala Bulat Kelapa”
yang dimuat di Kompas edisi September
2001 merujuk pada referensi tahun 1663 yang tersimpan rapi di Malay Language in the Boleian Library,
Oxford. Sebuah riset mendalam “hanya” untuk sekadar menulis tentang “kepala”
dan “kelapa”. Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan
gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah
karya, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis tanpa
riset, karya tersebut cenderung akan kering.
Di dunia drama dan teater nama Remy Silado juga tak
diragukan lagi. Ia pernah menjabat sebagai ketua Teater Yayasan Pusat
Kebudayaan Bandung dan menjadi dosen Sinematografi Bandung (sejak 1971). Di Bandung pula, tempat ia mendirikan Dapur
Teater 23761 sekitar tahun 1970an. Selanjutnya melalui Dapur Teater, ia menjadi
penulis naskah, pencipta musik dan lirik, pemain, serta sutradara bagi
pementasan garapannya. Remy sendiri lebih suka menyebut bentuk pementasannya
itu adalah sandiwara nyanyi.
Lewat pementasan teaternya, Remy menyuguhkan gagasan
“nakal” dan “kurang ajar” untuk sebuah wujud seni kontemporer: mbeling. Gagasan
mbeling yang diusung Remy melalui teaternya adalah perlawanan
budaya terhadap dua sisi tatanan yang dianggap mapan, sisi estetis dan politis.
Dalam dua sisi itu, sebagian besar dramanya adalah bentuk visual dan verbal
yang mencoba menelanjangi segala macam kepalsuan moralitas serta
penjungkirbalikan logika yang telah diterima secara baku.
Selain mementaskan drama yang naskahnya ditulis
sendiri, Remy mementaskan drama musik karya orang luar, antara lain Jesus
Christ Superstar karya Tim Rice dan Andrew Webber. Tapi Remy
mengadaptasinya dalam bentuk mbeling dan
nyeleneh. Dalam opera yang
dipentaskan di Balai Sidang Jakarta pada Juni 1980, Remy menghadirkan sosok
Yesus berkulit hitam dan Yudas berkulit putih. Yesus (diperankan oleh Martin
Luther Meset, mantan anggota Black Brothers) naik becak. Pertunjukan itu heboh
dan mengundang reaksi pelbagai kalangan, serta sempat membuat aparat gerah.
Saban selesai pertunjukan Remy langganan diinterogasi
polisi atau tentara. Bahkan pernah setelah pementasan drama Indonesia
Kamu Indonesia Kami di Gedung Stovia, Jakarta, pada Oktober 1973, Remy
diinterogasi aparat 10 hari, tidak boleh pulang ke Bandung. “Tahun segitu,
siapa berani maju sendirian mengkritik Orde Baru?” kata dramawan, novelis, dan
seniman bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong itu.
Berurusan dengan polisi atau tentara nyatanya tak
membuat Remy jera dalam mementaskan drama “perlawanan” serta puisi mbeling-nya. Lewat pementasannya, ia
mengkritik realitas yang berkembang, dari korps loreng-loreng yang galak hingga
korupsi pejabat. Remy tak hanya melontarkan kritik terhadap pemerintah. Ia juga
mengkritik perubahan tata nilai masyarakat, seperti kehidupan di Jalan
Tamblong, Bandung, Jawa Barat. Remy mengamati Tamblong yang dipenuhi perempuan
usia sekolah yang melacurkan diri. Para pelajar itu, kata Remy, mengikuti gaya
hidup remaja San Francisco yang menjadi groupies atau pengagum band yang doyan
hura-hura. “Mereka pelacur amatir,” katanya.
Setiap sastrawan besar selalu memiliki ciri khas dan
bagi saya ciri khas Remy yang terkuat adalah karakter multitalentanya dan kegigihan
dalam melakukan riset ketika ingin menulis. Ia sastrawan yang mampu memotret
realitas sosial dengan gaya nakal namun setia pada aturan. Karyanya selalu
didukung data shahih yang makin sulit ditemui pada sastrawan masa kini.
Referensi:
Salomo Simanungkalit (ed.). 2003. Inul Itu Diva? Kumpulan Kolom Bahasa Kompas. Jakarta: Kompas.
Mengapa Mukjizat Nabi Muhammad hanya Al Quran?
Tidak sedikit orang-orang yang bertanya seperti judul di atas. Mereka
berusaha membandingkan antara mukjizat Nabi Muhammad Saw dengan mukjizat
nabi-nabi sebelumnya. Padahal Nabi Musa diberi 9 mukjizat mulai dari tongkat,
katak, darah, dll hingga mampu membelah Laut Merah, padahal Nabi Isa diberi
mukjizat mampu menghidupkan orang mati, menyembuhkan penyakit kusta dengan
sekali sentuh, membuat burung dari tanah liat, dll. Lalu mengapa Nabi Muhammad
Saw yang notabene nabi akhir zaman, yang mendapat gelar salah satu ulul azmi
dan nabi terbaik dengan gelar SAW hanya diberikan mukjizat utama berupa
Al-Quran? Tentu kita tidak pula boleh melupakan mukjizat beliau yang lain yaitu
mampu membelah bulan, mendatangkan hujan, mengeluarkan air dari jari tangannya,
dll. Namun, mengapa hanya Al-Quran sebagai mukjizat utamanya?
Beginilah jawaban Hamka, dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar. Pertama, mukjizat-mukjizat
yang diberikan oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain-lain merupakan mukjizat yang
hanya dapat disaksikan oleh manusia sezamannya. Sepeninggalnya nabi-nabi
tersebut maka mukjizat itu pun hilang bersama mereka. Berbeda dengan Al-Quran,
sepeninggal Nabi Muhammad Saw Al-Quran tetap eksis dan terbukti mampu selaras
dengan perkembangan peradaban manusia. Bahkan Al-Quran justru melampaui
peradaban manusia. Misalnya, ketika tahun 1580, Sir Bernard Palissy
membicarakan tentang siklus air untuk pertama kalinya, tapi Al-Quran telah
menyebutkannya pada 1400 tahun yang lalu melalui banyak sekali ayat di dalamnya
(Az-Zumar: 21, Ruum: 24, Al-Hijr: 22, Nuur: 43, dll). Atau ketika Al-Quran
berfirman tentang genetic bahwa sperma laki-laki yang bertanggung jawa atas
jenis kelamin bayi dalam surat An-Najm: 45-56 yang nyatanya baru kita ketahui beberapa
waktu lalu. Serta masih banyak lagi bukti bahwa Al-Quran melampaui peradaban
manusia. Di samping itu, masih banyak ayat-ayat aqliyah (akal) yang belum
terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern.
Kedua, mukjizat seorang Nabi disesuaikan dengan kondisi zamannya. Ketika
Al-Quran diturunkan ke negeri Arab, negeri tersebut dalam kondisi puncak
kesastraan. Di mana tradisi menulis karya sastra menjadi viral. Sayembara
penulisan sastra pun seringkali diadakan dan karya terbaik berhak dipajang di
dinding Ka’bah selama satu tahun. Selama itu pula, masyarakat dari berbagai
penjuru daerah datang untuk membaca dan menghafal karya tersebut. Ust. Solihin,
Lc. (penemu metode Granada—salah satu metode dalam penerjemahan Al-Quran),
dalam kajiannya di Universitas Indonesia mengenai mukjizat Al-Quran dari segi
bahasa pernah mengungkapkan, ketika seseorang memelajari sastra Indonesia
mungkin ia akan terpukau, tapi ketika ia kemudian memelajari sastra Arab maka
sastra Indonesia langsung jatuh kedudukannya, selanjutnya ketika ia memelajari
sastra Al-Quran maka sastra Arab tidak ada apa-apanya.
Berkaitan dengan itu, saya sempat tidak setuju dengan pendapat
Malinovsky yang menyatakan bahwa agama adalah produk budaya. Mungkin memang ada
agama yang merupakan produk budaya, tapi Islam yang diturunkan kepada manusia
bernama Muhammad bukanlah produk budaya. Menyetujui bahwa Islam adalah produk
budaya, sama saja sepakat bahwa Al-Quran adalah hasil budi dan akal manusia,
maka menjadi tidak asing orientalis Barat menganggap Al-Quran sebagai karangan
Nabi Muhammad Saw. Ah, bagaimana mungkin seorang yang buta huruf mengarang
Al-Quran dengan bahasa yang tertandingi semacam ini? Sungguh, bodohnya kalian
itu keterlaluan!
Ketiga, Al-Quran bukan “cuma” tulisan Arab biasa. Mukjizat Nabi Muhammad
Saw ini adalah sebuah mukjizat yang tak tertandingi oleh ilmu pengetahuan
manusia hingga saat ini. Lain halnya dengan kemampuan Nabi Musa yang mampu
membelah Laut Merah, penelitian menemukan bahwa daerah tersebut memang sering
kali mengalami pasang dan surut dalam kondisi ekstrem. Atau mukjizat Nabi
Ibrahim yang tak mampu di bakar api, orang-orang Yogi yang gemar bermeditasi
telah mampu berjalan di atas bara api. Sedangkan mukjizat Nabi Isa yang mampu
menyembuhkan orang sakit kusta, ilmu kedokteran modern telah sanggup
melakukannya—meski belum mampu sehebat Nabi Isa. Bahkan mukjizat Nabi Muhammad
yaitu Isra’ Mi’raj pun telah terjawab oleh disiplin ilmu Fisika melalui teori
perubahan wujud partikel menjadi gelombang.
Bukan maksud penulis meremehkan mukjizat-mukjizat nabi tersebut, namun
mengutip pendapat Zakir Naik, ketika sebuah mukjizat telah terungkap rahasianya
atau telah berhasil ditiru oleh manusia, maka ia bukan lagi mukjizat. Peradaban
manusia yang kian maju ternyata berhasil mengungkap rahasia-rahasia di balik
mukjizat itu. Tapi Al-Quran? Sampai saat ini, banyak sekali sarjana yang ahli
dalam bahasa dan sastra Arab yang telah mencoba membuat sebuah surat semisal
Al-Quran, tapi mereka tidak sanggup. Sebab ini dijamin oleh Allah Swt dalam
surat Yunus: 38.
Atau
(patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah
siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu
orang yang benar".
Penulis ingin menutup
tulisan ini dengan sebuah ayat yang cukup menggetarkan hati.
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.
Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Al-Hashr: 21)
Bahkan sebuah gunung, tidak akan sanggup memikul
Al-Quran. Lalu masihkah kita yang bahkan seringkali takjub pada kemegahan
gunung meremehkan dan meragukan Al-Quran?
Depok, 13 Agustus 2016
Septian Cahyo Putro
Flat Earth Theory, Dekonstruksi Derrida, Stephen Hawking dan Al-Quran
Judul tulisan ini memang terdengar
keren tapi percayalah isinya tidak sekeren judulnya kok. Hehe. Belakangan media
sosial dihebohkan dengan ragam peristiwa seperti “balikin KTP gue”, tolong
tutup sekolah Turki, sampai seksinya Awkarin. Tapi, saya mau mencoba mencari
yang berbeda.
Hmm, beberapa waktu lalu saya
membaca sebuah artikel tentang Flat Earth Theory, apa itu? Flat Theory adalah
teori yang menyatakan bahwa bumi itu datar. Pandangan yang menyatakan bahwa
bumi itu datar dan semua faktanya ditentang habis-habisan oleh pendukung teori
ini, salah satunya melalui video-video yang dengan mudah Anda bisa akses di
Youtube. Melalui video ini mereka membantah semua kemapanan bahwa bumi itu
bulat, sampai-sampai mengarang bahwa di ujung bumi yang kita yang datar ini
(kata mereka) ada para tentara penjaga yang melarang kita untuk “melongok” ke
pinggiran bumi. Hehe, kalau mau tau lengkapnya, silakan lihat saja videonya.
Tapi saya tidak ingin membahas dan
membantah teori demi teori yang diajukan dalam video tersebut. Pertama, karena
hal ini sudah dilakukan oleh seseorang mahasiswa Indonesia yang sedang S2 Kimia
di Jepang melalui blognya www.mystupidtheory.com.
Penjelasan yang ia berikan cukup baik dan saya rasa cukup untuk memfalsifikasi
teori bahwa bumi itu datar. Kedua, karena ini bukan bidang yang saya dalami,
hanya sekadar saya minati.
Saya memandang pembuat video ini
adalah orang-orang yang memiliki kemampuan desain visual dan wacana yang luar
biasa. Mereka mampu memengaruhi penonton dengan fakta-fakta “buatan” mereka.
Jika dibaca sejarahnya, kalau saya tidak salah gerakan ini telah ada sejak
tahun 1300an. Luar biasa bukan? Ada orang-orang yang berkeyakinan bahwa bumi
itu datar semenjak tahun itu.
Apa yang mereka lakukan ini
mengingatkan saya pada sebuah teori ilmu budaya yang diajukan oleh Jacques
Derrida, yaitu teori Dekonstruksi. Secara sederhana teori ini berarti memaknai
kembali hal-hal yang telah dianggap mapan. Inilah yang dilakukan oleh para
pengkaji yang menyatakan bumi itu datar. Mereka ingin memaknai kembali bahwa
bumi itu tidak bulat, tapi datar. Kita selama ini telah ditipu oleh sekolompok
orang yang ingin mempertahankan doktrin mereka! Dalam dekonstruksinya mereka
tidak segan mengedepakan teori-teori konyol agar semakin banyak orang yang
terpedaya. Ini berhasil, karena saking terlihat meyakinkannya video itu maka
tidak sedikit kita mengiyakan.
Untuk Anda yang kadung percaya
bahwa bumi itu datar atau goyah keyakinannya akan kebulatan bumi, saya akan coba
sedikit menjelaskan percobaan Stephen Hawking yang pernah disiarkan pada NatGeo
Channel. Pada percobaan tersebut Hawking meminta tiga orang relawan terlibat.
Mereka mengadakan percobaan tersebut ditepi danau yang luas. Seorang relawan
diminta berada ditepi danau dan dua orang lagi diminta berada ditengah danau
dengan menggunakan sebuah kapal feri. Seorang yang ditepi danau diminta
menembakkan sinar laser ke arah kapal (bagi Anda yang pernah belajar IPA tentu
tahu, bahwa cahaya merambat lurus, ini ada pada praktikum bab Cahaya di SD),
sementara itu dua orang di kapal diminta menandai titik jatuhnya laser pada
kapal. Ternyata titik jatuhnya berada pada lambung kapal
Setelah itu, kapal diminta bergeser
dari tengah danau, semakin menjauhi tepian danau dalam satu garis lurus dengan
sinar laser. Orang pertama yang berada di tepian danau kembali menembakkan
sinal laser ke arah kapal dan apa yang terjadi? Titik jatuhnya laser yang
tadinya ada pada lambung kapal bergeser ke atas menyentuh atap kapal. Bagaimana
mungkin ini bisa terjadi? Bukankah danau itu datar dan cahaya merambat lurus?
Seharusnya jika danau itu datar dan cahaya merambat lurus maka akan terbentuk
garis sejajar antar keduanya. Berarti, kemungkinannya danau itu tidak datar
melainkan melengkung atau cahaya yang tidak merambat lurus? Haha. Yang jelas
kemungkinan kedua bahwa cahaya tidak merambat lurus adalah mustahil, semua
ilmuwan meyakini bahwa cahaya merambat lurus. Hal ini dibuktikan pertama kali
oleh ilmuwan muslim, Ibnu Al Haitam serta dilanjutkan oleh-oleh ilmuwan-ilmuwan
Eropa.
Dengan demikian, kemungkinan
pertamalah yang berterima. Permukaan danau itu tidak datar, tapi melengkung.
Hal inilah yang menyebabkan bahwa sinar laser tidak lagi mengenai lambung
kapal, tapi bergeser ke atas sampai atap kapal. Makin jauh posisi kapal dari
tepi danau maka makin bergeserlah titik jatuhnya laser pada kapal. Ini
membuktikan bahwa bumi itu tidak datar!
Bagi Anda orang muslim yang tidak
percaya bahwa bumi itu datar, maka perhatikanlah penjelasan Zakir Naik. Tahun
1577, Sir Francis Drake mengelilingi dunia dan membuktikan bahwa bumi itu
bulat. Tapi jauh sebelum itu, Al Quran melalui surat An-Naziat [79]: 30 yang
berbunyi wal ardla ba’da dzalika dahaha.
Kata dahaha dalam bahasa Arab
memiliki dua makna, pertama dihamparkan dan kedua berasal dari kata duya yang berarti telur. Dan kita tahu
saat ini, bumi tidak sepenuhnya bulat seperti bola, melainkan kutub-kutubnya
berbentuk lonjong dan bagian tengahnya bulat. Jadi bentuknya geo-sperichal,
mirip seperti telur. Dan kata duya itu
sendiri tidak merujuk kepada telur biasa, melainkan secara spesifik merujuk
pada telur burung unta, sedangkan jika Anda menganalisis bentuk dari telur
burung unta, memang bentuknya geo-sperichal. Al-Quran menyebutkan ini 1400
tahun yang lalu! Bayangkan!
Jadi, masihkah Anda meragukan
kebulatan bumi? Terutama Anda yang muslim, jika Anda meragukan kebulatan bumi,
maka Anda berkata bahwa Al-Quran itu salah. Dan tentu Anda bisa bayangkan,
konsekuensinya jika ada satu ayat saja yang salah dalam Al-Quran maka orang
akan makin berlomba-lomba memfalsifikasi Al-Quran. Saya jadi berprasangka bahwa
gerakan Flat Earth Theory ini dibuat untuk tujuan itu. Maka orang akan
meragukan Al-Quran bukanlah kitab dari Allah, melainkan hanya karangan Nabi
Muhammad Saw, seperti yang selama ini dituduhkan orientalis Barat.
Depok, 1 Agustus 2016
Septian Cahyo Putro