Posted by : Septian Cahyo Putro Rabu, 11 Mei 2016


Tulisan ini saya sarikan dari Buletin Da’wah yang diterbitkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada 6 Mei 2016/28 Rajab 1437 H. Saya tergerak untuk menulis ulang artikel tersebut karena menurut saya banyak informasi di dalamnya yang cukup penting dan sering dilalaikan/tidak diketahui orang mengenai salat berjamaah. Penulisan ulang ini sekaligus ingin memberi tambahan tentang pengalaman/cerita orang ketika salat berjamaah.
Pertama mengenai imam yang tidak peduli kondisi shaf makmum. Rasulullah Saw memulai salat dengan memberikan komando, “hendaklah kamu meluruskan shaf-shaf kamu atau (jika tidak) Allah akan jadikan kamu selalu berselisih” (HR Bukhari: 717). Bahkan Rasulullah langsung bertindak dengan memegang pundak-pundak para sahabat untuk diluruskan. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “luruskanlah shaf-shaf kamu sebab meluruskan shaf itu termasuk bagian dari penegakan salat” (HR Bukhari: 723). Mungkin sebabnya umat Islam di Indonesia ini sering mengalami disintegrasi karena tidak menjaga lurusnya shaf dalam salat berjamaah.
Selain harus lurus, shaf dalam salat berjamaah juga harus rapat. Anas bin Malik ra menceritakan, “kami biasa (jika salat berjamaah) melekatkan pundak kami dengan pundak yang lain dan kaki kami dengan kaki yang lain” (Bukhari: 725). Hal ini sesuai dengan aba-aba yang diberikan Rasulullah Saw setiap kali hendak mengimami salat: merapatlah sepert rapatnya besi yang dipatri.
Sayangnya tidak sedikit makmum yang tidak peduli akan hal ini. Alih-alih merapatkan shaf, mereka lebih memilih mengikuti gambar/motif sajadah yang terpisah-pisah itu. Karenanya saat ini banyak masjid yang telah meninggalkan sajadah bermotif dan menggantinya dengan yang polos. Tidak jarang pula, ketika ada makmum sebelahnya yang merapatkan kakinya dengan kaki makmum lain, tidak sedikit makmum yang justru menjauh, entah apa sebabnya. Bahkan, pernah suatu kali murid saya bercerita bahwa niatnya untuk merapatkan shaf dengan kaki makmum lain justru membuat makmum itu marah dan menginjak kaki murid saya. MasyaAllah.
Kedua, lewat di depan orang salat. Mungkin hampir kita semua pernah mengalami hal ini, ketika sedang salat dan di depan kita lewat orang lain begitu saja. Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang salat mengetahui dosa yang didapat niscaya ia memiilih berdiri (menunggu) 40 (tahun) daripada lewat di depannya” (HR Bukhari: 540). Bahkan saya pernah membaca dalam riwayat lain, bukan 40 tapi 1000 tahun, naudzubillah.
Melalui hadits ini kita dapat mengetahui betapa besar dosa yang menimpa orang yang lewat di depan orang salat. Maka jika kita sedang salat kemudian ada orang yang hendak lewat di depan kita maka harus kita cegah, karena mungkin saudara kita itu tidak tahu akan bahayanya hal ini. kita bisa mencegahnya dengan membentangkan tangan kita ke depat, maka dengan begitu kita telah menyelamatkan saudara kita dari dosa. Begitu pun kita, harus hati-hati jika hendak melangkah keluar dari barisan, jangan sampai lewat depan orang salat.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda dengan kalimat yang lebih keras, “apabila kamu salat sedangkan kamu sudah punya pembatas di hadapanmu dari manusia lalu ada orang yang mau lewat maka hendaklah kamu tahan, jika ia enggan (tetap mau lewat) maka perangilah ia, sebab sesungguhnya dia itu adalah setan (HR Bukhari: 509). Saya pernah mengalami hal ini, ketika berusaha menghalangi orang yang ingin lewat di depan saya saat saya salat, ia tetap terus mendorongkan badannya ke depan. Tapi tetap saya tidak mau kalah, tangan saya yang telah terbentang ke depan semakin saya bentangkan dan saya tekan ke arahnya. Alhamdulillah, ia langsung berbelok arah.
Perintah ‘perangilah’, menunjukkan bahwa orang yang sedang salat diperintahkan menggunakan kekerasan, bahwa akibatnya bisa saja terjadi korban, yakni ketika orang yang mau lewat itu tidak mau dicegah. Sedangkan adanya pernyataan bahwa orang yang memaksakan diri untuk lewat itu adalah ‘setan’, menunjukkan betapa berat pelanggaran orang yang melintas di depan orang yang sedang menghadapa Allah Swt, sehingga orang tersebut telah disamakan dengan setan.
Demikian dua hal yang saya tulis ulang dengan beberapa tambahan. Kedua hal tersebut menurut saya penting dan sering dilalaikan oleh imam dan makmum. Adapun hal-hal lain yang dibahas dalam Buletin Da’wah edisi tersebut adalah perihal membawa anak kecil (anak kecil harus diletakkan di shaf anak-anak, kecuali mereka yang salatnya sudah bagus dan tenang), suara imam yang tidak terdengar, tidak paham saat masbuq (menyebabkan seseorang memilih salat sendiri/tidak berjamaah), dan salat menyerong ke kanan (karena beranggapan letak geografis Indonesia yang tidak persis berada di timur Arab Saudi, padahal ketika membangun masjid tentu hal ini sudah diperhitungkan).


Ditulis ulang oleh: Septian Cahyo Putro    

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Halaman Tian - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -