Indonesia
Sample text
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Advertising
Translate
Social Icons
Labels
Followers
About Me
- Septian Cahyo Putro
- Depok, Jawa Barat, Indonesia
- Pendidik di Bizsmart School Depok
Labels
Featured Posts
Archive for Mei 2012
Analisis Karakter “Hidjo”
Analisis Karakter “Hidjo” dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo dengan Pendekatan
Objektif
Oleh: Septian Cahyo Putro
Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit
pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku
tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah
fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan kembali
dengan dua versi pada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya
penerbit dari Yogya. (wikipedia)
Menurut
Jakob Sumardjo (2004: 245), novel Student Hidjo dikarang oleh Mas Marco
Kartodikromo ketika ia dipenjarakanoleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1918,
seperti yang tertulis dalam pengantar penulis dalam novel tesebut. Berikut
adalah kutipannya.
“Ini
cerita pernah dimuat dalam surat kabar harian pangkuan kami: Sinar Hindia, di
dalam tahun 1918.
Sesungguhnya
ini karangan buah pena kami menjalani hukuman perkara persdelict di Civiel en
Militair Gevangenhuis, di Weltervreden lamanya satu tahun. Meskipun di
dalam penjara kami tidak bisa tulis-menulis di dalam surat kabar, tetapi kami
bisa mengarang buku-buku seperti Sjair Rempah-Rempah, Student Hidjo,
Matahariah, dan lain-lain.”
Oleh
Bakrie Siregar, novel ini dipandang sebagai perintis tradisi sasra Indonesia
karena telah menyuarakan semangat kebangsaan dan perlawanan terhadap
kolonialisme.[1] Novel
ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang
lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengontraskan
kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda.
Mas
Marco secara lugas juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum bumiputra. Ia
menggunakan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang
mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Novel
inipun lahir sebagai sikap politik dari Mas Marco sendiri yang merupakan
aktivis revolusioner yang berpindah dari penjara ke penjara.
Hidjo
adalah seorang pemuda bangsawan Solo lulusan HBS yang akan belajar ke Belanda.
Menjelang keberangkatannya ia ditunangkan dengan Biru, putri pamannya sendiri.
Adapun Wardoyo adalah putra Regent Jarak dan memiliki adik bernama Wungu;
Willem Walter anak controlleur (pengawas) Belanda di Jarak; sedangkan Betje
adalah pacar Hidjo di Nederland.
Kisah
diawali dengan rencana orangtua Hidjo menyekolahkan ke Belanda. Ayah Hidjo,
Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat
keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai
gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan
status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial.
Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas
anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas.
Pendidikan
di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat besar bagi Hidjo.
Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat julukan
"pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat hubungan
seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur
salah satu maatschapij yang
rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin karena
melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk
memutuskan tali cinta pada Betje.
Persoalan
menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden Adjeng Biroe yang masih
sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden Adjeng
Woengoe, putri Regent Jarak yang sangat cantik. Di akhir cerita, ketegangan mendapat
penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo tidak
langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.
Rumus
perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara
Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang
menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia.
Watak
tokoh Hidjo seakan menjadi kelemahan dalam novel ini. Tokoh Hidjo yang pada
awalnya digambarkan lelaki setia yang bertanggung jawab ternyata sebaliknya. Ia
juga memiliki watak begitu patuh pada ibunya, seperti pada kutipan berikut
(percakapan Hidjo dengan Ibunya):
“Jangan nakal ya, Jo,” kata ibunya
kepada Hidjo.
Hidjo hendak tertawa mendengarkan
perkataan ibunya itu, tetapi ditahannya sambil berkata:
“Tidak!”
“Kalau kamu di negeri Belanda sampai
nakal seperti anak-anak Jawa lainnya yang ada di negeri Belanda, kamu saya
tinggal mati,” kata Raden Nganten.
“Tidak, Bu!”, menjawab anaknya... (Student Hidjo, hlm. 9-10)
Dari
kutipan di atas nampak jelaslah pergeseran sifat Hidjo yang awalnya begitu
penurut pada Ibunya, namun ketika telah bersekolah di Belanda ia melanggar
janjinya itu. Ia berpacaran dengan Betje dan bahkan menghamilinya. Betje lalu
memutuskan mengugurkan kandungan dengan sebab Hidjo berniat memutuskan
pelajaran dan hendak kembali ke pulau Jawa. Akhirnya dengan sangat tidak
bertanggung jawab ia kembali ke Jawa meninggalkan Betje.
Watak
yang ditunjukkan Hidjo ini seolah sindiran terhadap kaum muda terpelajar.
Tujuan awal mereka belajar namun ternyata setelah sampai di kota tempat mereka
hendak menimba ilmu, tujuan tersebut seakan terlupakan. Inilah fenomena yang
sering terjadi pada sebagian kaum terpelajar Indonesia hingga saat ini.
Ternyata kritikan tersebut masih berlaku hingga zaman sekarang.
Berhubung
Hidjo adalah orang Jawa, secara tidak langsung Mas Marco juga menjelekkan pria
Jawa dengan sindiran tersebut. Aneh memang, karena Mas Marco sendiri juga
seorang yang menjunjung tinggi budaya Jawa. Hal ini terbukti dari pakain khas
yang dikenakannya, yaitu jas dengan kain batik dan selop ala Jawa.
Hal
lain yang kiranya perlu mendapat perhatian adalah perasaan cinta Hidjo kepada
Biru yang begitu cepat hilangnya dan digantikan oleh Wungu. Padahal cinta Hidjo
begitu besarnya pada Biru, seperti dalam kutipan berikut:
“Kalau saya pergi ke negeri Belanda,
tentu susah sekali yang saya tinggalkan, sebab kamu rupa-rupanya cinta sekali
kepada saya. Begitu juga saya, meskipun saya ini seorang yang tidak suka bicara
dan tidak suka main-main sama orang perempuan, tetapi kalau satu hari saya
tidak tahu rupamu...” (Student Hidjo,
hlm. 20)
Jakob
Sumardjo mengatakan kelemahannya tampak pada perubahan karakter yang secara
empiris sulit dimengerti. Betapa mudah Hidjo melupakan Biru dan menikahi Wungu,
dan alangkah gampang Wungu mencintai Hidjo tanpa perkenalan yang mendalam.[2]
Karena
perubahan wataknya yang begitu drastis dan tiba-tiba maka tokoh ini saya sebut
tokoh ‘bulat sempurna’. Mas Marco seolah menggambarkan watak Hidjo yang amat
buruk, yaitu pembohong, suka main perempuan, penghianat, dan tidak bertanggung
jawab dengan blangkon yang menutup kepalanya.
Novel
ini bagai pedang bermata dua, di satu sisi merupakan kecaman pengarang terhadap
tingkah laku orang Belanda di Indonesia yang ternyata banyak berubah sikap
setelah berada di Indonesia. Dan sisi lain mencemarkan kehormatan tanah
kelahiran dan budayanya sendiri, Jawa.
Sastra Pencerahan
SASTRA PENCERAHAN
Oleh: Septian Cahyo P.
Apakah
sastra pencerahan itu? Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal tersebut
marilah kita pahami dulu maknanya secara morfologi dan sintaksis. Secara
morfologi pencerahan berasal dari {pe-}+{cerah}+{-an}. Imbuhan {pe-/-an} pada
kata tersebut berarti “proses”, oleh karena itu pencerahan dapat dimaknai
proses yang mencerahkan atau proses membuat jadi cerah. Lalu secara sintaksis
sastra pencerahan memiliki pola MD (menerangkan-diterangkan), hal ini bertentangan
dengan pola bahasa Indonesia yang seharusnya DM (diterangkan-menerangkan).
Apakah hal ini merupakan sebuah kesalahan atau kesengajaan?
Dapat
saya simpulkan pola MD pada frase sastra pencerahan memiliki makna yaitu
“bukanlah sastra yang harus dicerahkan tetapi sastra itulah yang harus mampu
mencerahkan”. Lalu seperti apakah sastra yang mampu mencerahkan itu?
Faruk,
seorang doktor ilmu sastra dari UGM berpendapat, sastra Indonesia selalu
menjadi “sastra yang melawan”. Sejarah sastra Indonesia modern yang berusia
sekitar seabad telah menciptakan karya-karya sastra dan sastrawan yang amat
sensitif sekaligus rentan terhadap rangsangan-rangsangan pragmatisme. Mereka
manjadi cenderung gelisah dan digelisahkan oleh situasi eksternal yang
mengelilinya dan mudah sekali terpicu olehnya, baik dalam bentuk kepatuhan yang penuh ataupun
perlawanan yang keras atau mungkin setengah hati. Dorongan dan tuntutan
ekonomi, sosial, dan moral membuat mereka merasa tidak tenang dalam menjalani
aktvitas mereka. Sastra Indonesia menurut Faruk diibaratkan sebagai seorang
penari yang tidak pernah menikmati tubuhnya sendiri. Ia selalu dibuat gelisah
oleh orang lain yang menontonnya, menjadi serba kikuk, menimbang-nimbang, dan
akhirnya memaksakan diri untuk diterima dan diberi posisi meski sebagai musuh
para penonton itu.
Apa
yang dinyatakan Faruk memang benar adanya, dan hal itu bukanlah sesuatu yang
salah, jadi tidak perlu ada yang dipersalahkan. Sastra menggambarkan realitas
masyarakat, lalu apa gunanya sastra yang tenang dan damai jika masyarakatnya
masih belum merasakan hal tersebut? Indonesia adalah sebuah negara, sebuah
bangsa, sebuah masyarakat, yang selalu berada dalam kancah pertempuran dan
pergolakan, tempat orang selalu takut akan kehilangan kesempatan. Bagaimanapun,
dalam kancah peperangan kehilangan kesempatan memang selalu berarti kematian,
kehilangan untuk selama-lamanya.
Setiap
kesusateraan yang baik memberi pencerahan kepada manusia, pembacanya. Sekalipun
itu pencerahan yang bersifat subjektif, dimana terjadi dialog antara sastra dan
seseorang yang membacanya. Namun juga pencerahan dalam pengertian objektif,
yang bisa dirasakan denyutnya oleh semua manusia yang membaca. Dengan sentuhan
estetiknya, sastra memberi katarsis
sehingga menjadi inspirasi pencerahan manusia untuk membebaskan keterjajahan
dirinya dari kekuasaan yang mengingkari hakikat manusia, hakikat alam, dan
daulat Tuhan.
Sastra
yang mencerahkan bukan saja terobsesi semata oleh wadag bahasa, melainkan juga
menghidupi bahasa. Ia tidak sekedar berurusan dengan indahnya tubuh, melainkan
sekaligus memberi makna keindahan terhadap tubuh. Ia bersumber dari air
religiositas (suatu dimensi kedalaman yang mulai menghilang dalam
keber-agama-an) sebab ia ingin melepaskan dahaga hakikat kemanusiaan kita.
Karenanya,
sastra yang mencerahkan berlawan terhadap penjajahan kemanusiaan, dan bentuk
perlawanannya itu: ada yang melalui estetisme; ada yang menjadi saksi; bahkan
ada yang melawan. Tanpa menengok kepada seruan “Kita harus meningkatkan dari
sastra perlawanan, menjadi sastra yang melawan”, maka sastra yang mencerahkan
secara niscaya mengandung kedua resiko tersebut sebab perubahan itu sendiri
bagian dari berjalannya sejarah, berjalannya hukum alam.[1]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa sastra pencerahan adalah sastra yang bukan hanya
rentetan bunyi tidak bermakna atau bunyi yang sulit dimaknai tapi yang
terpenting adalah memiliki makna, menampilkan realitas kehidupan. Kedua sastra
pencerahan mengandung religiositas dalam setiap lariknya. Religiositas ada yang
tumbuh sebab religi, dan ada yang
tidak sebab religiositas itu perasaan keagamaan (menurut William James), atau
penghayatan terhadap hidup (menurut Y.B. Mangunwijaya). Ketiga sastra
pencerahan hendaknya tidak mengandung unsur “sastra koran bekas”. Maksudnya
sastra yang hanya mementingkan “asal dimuat” pada media cetak. Berjalan di
tempatnya sastra kita hari ini, ada keterkaitan erat dengan tiadanya kritik
sastra, lantas sastrawan menuduh kritikus atau akademisi sebagai mandul.
Bagaimana mungkin memberi apresiasi, kritik, terhadap “sastra koran bekas”?
Tiadanya kritik justru disebabkan pada tiadanya karya sastra yang laya
diperhitungkan oleh kritik. Keempat, sastra pencerahan selalu melawan
penjajahan kemanusiaan.