Indonesia
Sample text
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Advertising
Translate
Social Icons
Labels
Followers
About Me
- Septian Cahyo Putro
- Depok, Jawa Barat, Indonesia
- Pendidik di Bizsmart School Depok
Labels
Blog Archive
Featured Posts
Archive for 2012
Hubungan Bahasa dan Budaya
Hubungan Bahasa dan Budaya
Septian
Cahyo P.
(Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Abstract
Language have as
high as position with the culture in society. The two of them like two side
coin that never be separate. The relation the two of them is coordinately.
Language is instrument to defend culture and culture influence language that
used by the speaker. Some of the philosopher argued that language obtainable
culture, social structure, and ideology the speaker. Therefore, the aim of this
writing is to discribe do the language shape human world view? And do the
culture influence language or the other way? Finally, obtainabled conclusion
that language did not shape human world view and the culture influence language
dominantly.
Keywords:
bahasa,
budaya, pengaruh, pandangan
Pendahuluan
Bahasa dan budaya adalah dua bentuk hasil pemikiran
manusia. Banyak ahli yang mengemukakan teorinya mengenai kaitan antara bahasa
dan budaya, salah satunya Willem von Humboldt seorang filosof Jerman.
Menurutnya “language by its very nature
represents the spirit and national character of a people (bahasa adalah
repesentasi/perwujudan semangat alami dan karakter nasional masyarakat)”(Steinberg
dkk, 2001: 244). Humboldt yakin setiap bahasa di dunia pasti merupakan
perwujudan budaya dari masyarakat penuturnya. Jadi, pandangan yang dimiliki
oleh suatu masyarakat bahasa tertentu akan tercermin atau terwujud dalam
bahasanya. Dan ternyata pendapat Humboldt juga didukung oleh para linguis
ternama seperti Edward Sapir (1929) dan Alfred Korzybski (1933).
Bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah
dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya. Koentjoroningrat dalam Chaer
(1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama
berkembangnya masyarakat. Berbagai pendapat para ahli mengenai hubungan antara
bahasa dan kebudayaan membuat tema ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Sehingga pada akhirnya dapat melahirkan teori-teori baru mengenai hubungan
keduanya.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
apakah benar bahasa membentuk pandangan masyarakat penuturnya? Apakah bahasa
mempengaruhi budaya ataukah sebaliknya? Saya akan mulai menggambarkan persoalan
di atas dengan menjelaskan pengertian bahasa dan budaya, kemudian memberikan teori-teori
mengenai bahasa yang mempengaruhi pandangan manusia, dan terakhir menjabarkan
pengaruh bahasa terhadap budaya atau sebaliknya.
Pengertian
Bahasa
Kridalaksana
dalam Chaer (2003:32)memberikan pengertian bahwa bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok sosial untuk bekerjasama,
berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Sebagai suatu sistem, bahasa sekaligus
bersifat sistematis. Artinya bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun
secara acak, dengan kata lain, bahasa itu bukan merupakan suatu sistem yang tunggal,
tetapi dari subsistem, seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Sedangkan arbitrer (“mana suka”) di sini artinya tidak ada hubungan wajib
antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian
yang dimaksud lambang tersebut.
Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1.
bahasa
merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
- bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat
lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa
bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini
menyebutkan dalam penggunaannya (language in use) bahasa merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi.
Dalam penggunaan bahasa menurut Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah
‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan
dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Tidak jauh
berbeda dengan pendapat di atas, Noam Chomsky, Gorys Keraf, dan Sturtevent
mengungkapkan pengertian senada mengenai bahasa, yaitu sebagai berikut:
1.
Menurut
Sturtevent, bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang
digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosial untuk bekerjasama dan
saling berhubungan.
2.
Menurut
Chomsky, language is a set of sentences,
each finite length and contructed out of a finite set of elements.
3.
Menurut
Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang
bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. (diunduh dari http://anaksastra.blogspot.com pada 27 Juni 2012)
Pengertian
Budaya
Hakikat
kebudayaan sangat kompleks sehingga para ahli selalu memberikan pengertian,
pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Sibarani (1992:99),
mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan
secara sosial, baik bersifat eksistensi, normatif maupun simbolis yang
tercermin dalam tingkah laku dan benda‐benda hasil karya
manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Budaya (2005:169) tercantum pengertian bahwa budaya adalah pikiran, akal budi,
yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat. Dari pengertian ini dapat kita
simpulkan bahwa budaya adalah hasil pemikiran manusia yang dilandasi cipta,
rasa, dan karsa.
Kebudayaan menurut Clifford Geertz
sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi
Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna
yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada
dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem
struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik.
Definisi-definisi di atas dan
pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul
Chaer yaitu:
1. Definisi
deskriptif yakni
definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi
historis yakni
definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi
normatif yakni
definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah
laku.
4. Definisi
psikologis yakni
definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri
kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi
sturktural definisi
yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi
genetik yang
menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (diunduh dari
http://anaksastra.blogspot.com pada 27 Juni 2012).
Teori
Mengenai Bahasa Mempengaruhi Pandangan Manusia dan Penyangkalannya
Beberapa ahli percaya bahwa bahasa sedikit berbeda
dari pikiran, namun bahasa itu sendiri akan mempengaruhi pandangan atau
ideologi seseorang. Misalnya saja von Humboldt yang percaya bahwa bahasa
mewujudkan semangat dan karakter nasional suatu bangsa. Pendapat terbaru yang
serupa juga dinyatakan Whorf , Edward Sapir (1929), dan Alfred Korzybski (1933)
(dalam Steinberg dkk 2001: 261).
Jika teori ini benar tentunya akan ditemukan
perbedaan dan persamaan penting seperti, filsafat, agama, politik, atau
struktur sosial terkait perbedaan dan persamaan bahasa. Namun, ternyata
terdapat beberapa penyangkalan terhadap teori tersebut (dalam Steinberg dkk
2001: 262) yaitu:
1. Bahasa
yang sama namun ideologi berbeda
Di
Indonesia kita dapat menemukan penutur bahasa Jawa yang sama namun ternyata
memiliki filosofi hidup dan kepercayaan yang berbeda-beda. Perhatikan misalnya
sebuah keluarga yang berbahasa Inggris namun ibunya seorang atheis, ayah
seorang kristen, dan putri seorang muslim. Jika teori di atas benar tentunya
dengan bahasa yang sama akan terdapat persamaan ideologi atau pandangan. Contoh
ini menunjukka kesalahan teori tersebut.
2. Bahasa
yang berbeda namun ideologi sama
Pertimbangkan
bahwa banyak negara yang memiliki bahasa yang berbeda tapi ternyata menunjukkan
kesamaan ideologi atau pandangan sosial, politik, agama, dan ilmiah. Misalnya
Indonesia dengan Arab Saudi berbeda bahasa namun memiliki mayoritas agama yang
sama yaitu Islam atau Rusia dengan Cina yang memiliki persamaan ideologi yaitu
komunis. Jika teori di atas benar tentunya ideologi antara Indonesia dengan
Arab Saudi tentu akan berbeda, begitu pula dengan Rusia dan Cina.
3. Bahasa
yang sama namun terjadi perubahan pandangan dari waktu ke waktu
Kita
dapat mengamati bahwa masyarakat dapat mengubah struktur sosial dan ideologinya
meskipun bahasanya mengalami perubahan yang tidak signifikan. Sebagai contoh,
selama 100 tahun, Cina telah berubah dari feodalisme di bawah Dinasti Qin,
kemudian berganti menjadi kapitalisme di bawah kekuasaan Hiang Kai Sek, lalu
berubah lagi menjadi komunisme di bawah kekuasaan Mao dan pemimpin-pemimpin
selanjutnya. Namun bahasa Cina hanya berubah relatif sedikit selama beberapa
periode dalam tata bahasa dasarnya. Perubahan serupa dapat dicatat dalam
sejarah dari berbagai negara seperti Rusia. Fakta-fakta ini adalah sebuah hal
yang tidak dapat dibahas dari teori di atas. Sesuai dengan teori di atas, jika
tata bahasa tidak berubah maka seharusnya ideologi rakyat Cina dan Rusia tidak
ikut berubah namun yang terjadi adalah sebaliknya.
4. Suatu
bahasa dapat menggambarkan banyak pandangan dunia yang berbeda
Pernyataan
ini adalah salah satu bentuk penyangkalan terhadap teori di atas. Contohnya
adalah penafsiran Al-Quran, meskipun semua Al-Quran di dunia memiliki bahasa
yang sama yaitu bahasa Arab, namun penafsiran setiap ulama atau penafsir
Al-Quran mengalami perbedaan. Bukti perbedaan itu adalah terdapatnya banyak aliran
dan paham yang berbeda dalam tubuh Islam. Inilah salah satu bukti bahwa bahasa
tidak mempengaruhi atau membentuk ideologi seseorang.
5. Pandangan
seorang multibahasawan
Tentunya hampir
setiap orang di dunia ini adalah multibahasawan. Jika teori di atas yang
menyatakan bahwa bahasa membentuk ideologi, filosof, dan budaya seseorang
tentunya seorang multibahasawan akan memiliki berbagai pandangan yang berbeda
dalam pemikirannya. Seorang multibahasawan akan memiliki persaingan pandangan
yang benar dalam dirinya, hal ini tentunya membingungkan fungsi seseorang.
Misalnya seorang konsultan menguasai dua bahasa, Inggris (berfaham kapitalis)
dan Cina (berfaham komunis). Akan timbul pertanyaan, bagaimana dia menggunakan
kedua ideologi tersebut? Bukti terakhir ini tidak memungkinkan seorang
multibahasawan untuk berpikir secara baik jika kita masih mengacu pada teori di
atas.
Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa ternyata
bahasa tidak memberikan pengaruh atau pun membentuk pemikiran, kepercayaan
sosial, atau bahkan budaya seseorang. Justru sebaliknya bukti-bukti pada
kehidupan sehari-hari menunjukkan pengaruh budaya, pemikiran, atau nalar
mempengaruhi bahasa secara tidak langsung. Dalam esainya, Soenjono
Dardjowidjojo mempertanyakan apakah ketidak-nalaran dalam tata budaya
masyarakat Indonesia mempengaruhi wujud bahasa Indonesia yang penuh
ketidak-nalaran (Dardjowidjojo 2003: 160). Pertanyaan ini lahir dari
pembahasannya mengenai “nalar dalam bahasa dan budaya kita.” Meskipun ia tidak
berani memberikan jawaban yang definitif, namun ia memberikan beberapa contoh
terkait pernyataannya.
Saya hanya akan mengambil satu contoh dalam
pembahasan kali ini. Misalnya keterkaitan antara logika dalam budaya masyarakat
Indonesia dengan logika dalam bahasa Indonesia. Dalam budaya Indonesia, seorang
ibu yang melihat anaknya jatuh karena tersandung kaki meja akan mengatakan,
“Aduuh, nakal ya kursinya!”. Lalu dipukulnya kursi itu. Bandingkan dengan
budaya seorang ibu Amerika, jika terjadi hal yang sama pada anaknya dia akan
mengatakan, “Watch your steps, honey.” Perbedaan kedua reaksi ini sedikit
banyak mencerminkan semacam benih perilaku yang sedang ditanamkan oleh orangtua
pada si anak. Dalam mewujudkan cinta-kasihnya, ibu Indonesia tidak mau
menyalahkan anaknya; yang dia salahkan adalah sesuatu yang tidak salah dan
tidak memiliki kemampuan membela diri. Sebaliknya, ibu Amerika yang dihadapkan
pada peristiwa yang sama melihatnya dari segi pandang yang lain; jatuhnya si
anak bukanlah karena kursinya yang nakal, tetapi karena anaknya tidak
hati-hati. Benih nalar yang dia tanamkan pada anaknya mengaitkan secara
langsung sebab dan akibat yang sebenarnya.
Ternyata persoalan nalar (logika) ini juga terlihat
dalam bahasa Indonesia. Perhatikan contoh berikut, yang diambil Dardjowidjojo
dari SK Mendikbud No. 095/U/1988;
a. Setiap
usul penetapan angka kredit bagi
Lektor Kepala ke atas harus:
b. mendapat
pertimbangan/persetujuan dari Senat Universitas
c. melakukan
penelitian mandiri.
kita lihat bahwa
(4a) bisa bersambung dengan (4b) tetapi tidak dengan (4c). Gabungan (4a) dengan
(4b) akan menghasilkan (4d) yang bisa kita terima, tetapi (4a) dengan (4b)
seperti pada (4e) kita tolak.
a. Setiap
usul penetapan angka kredit bagi Lektor Kepala ke atas harus mendapat
pertimbangan/persetujuan dari Senat Universitas.
b. *Setiap
usul penetapan angka kredit bagi Lektor Kepala ke atas harus melakukan
penelitian mandiri (Dardjowidjojo 2003: 157).
Contoh di atas
merupakan sebuah fenomena budaya nalar/logika Indonesia yang mungkin
mempengaruhi nalar/logika dalam bahasa Indonesia.
Bahasa
Mempengaruhi Budaya atau Sebaliknya?
Bahasa
dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat
yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan
bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit
mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi,
saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam
hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan
(filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Bahasa
merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu
dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti
bahasa pengantar kebuadayaan tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa
kebudayaan lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya.
Meski
begitu ternyata bahasa suatu masyarakat ternyata sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan masyarakatnya. Dalam
analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain (diunduh dari http://anaksastra.blogspot.com pada 27 Juni 2012). Contohnya dalam
budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya
ada kata rice untuk menyatakan nasi,
beras, gabah, dan padi. Jadi, kata rice dalam
Bahasa Inggris mengacu kepada nasi, beras, gabah, dan padi dalam Bahasa
Indonesia. Variasi dalam Bahasa Indonesia itu disebabkan karena kedekatan
masyarakat Indonesia dengan nasi sebagai makanan pokoknya yang merupakan bentuk
budaya masyarakat Indonesia.
Contoh lain misalnya, dalam budaya
Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama)
berdasarkan jenis kelamin yaitu brother
dan sister. Padahal budaya Indonesia
membedakan berdasarkan usia yaitu yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih
muda disebut adik. Kebudayaan Inggris tidak memandang saudara berdasarkan usia
namun berdasarkan jenis kelamin berlawanan dengan kebudayaan Indonesia yang
lebih mementingkan segi usia. Ini dikarenakan kebudayaan santun masyarakat
Indonesia lebih kental dibanding masyarakat Inggris pada umumnya.
Pendapat senada dikatakan oleh
Levi-Strauss (dalam Sibarani 1992:104). Menurutnya, bahasa adalah hasil
kebudayaan. Dalam hal ini berarti kebudayaan mempengaruhi bahasa seperti halnya
pada contoh-contoh di atas. Bahasa merupakan refleksi seluruh kebudayaan dari
sebuah masyarakat. Contohnya dapat kita lihat jika kita membandingkan bahasa
Sunda dengan bahasa Jawa, yaitu sebagai berikut:
Bahasa Sunda
Bahasa Jawa
Amis:
manis Amis:
amis
Gedang:
papaya Gedhang:
pisang
Raos:
enak Raos:
rasa
Atos:
sudah Atos:
keras
Cokot:
ambil Cokot:
gigit
Kata
dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa meskipun bentuk dan ejaannya sama namun
berbeda artinya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar budaya yang
mempengaruhi arti tersebut. Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi
norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan
yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada bahasa seseorang. Itulah
sebabnya kita perlu memahami norma-norma kebudayaan sebelum atau selain
mempelajari bahasa (Hodidjah, artikel hlm. 6).
Pandangan
berbeda terungkap dari teori Sapir-Whorf. Teori ini mengungkapkan bahwa bahasa
mempengaruhi budaya. Mereka mengatakan demikian karena apa yang diungkapkan
pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur. Dalam teori Sapir-Whorf,
kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia menegaskan bahwa bahasa
mempengaruhi budaya (kebiasaan). Sayangnya teori ini dianggap lemah untuk saat
ini, karena fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kebudayaanlah yang
mempengaruhi bahasa.
Penutup
Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa penulisan ini bertujuan untuk memberikan deskripsi
mengenai kebenaran teori bahwa bahasa mempengaruhi pandangan masyarakat
penuturnya dan mendeskripsikan pengaruh bahasa terhadap budaya ataukah
sebaliknya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa tidak membentuk atau
mempengaruhi pandangan masyarakat penuturnya. Kesimpulan ini dibuktikan dengan
lima hal yaitu (1) bahasa yang sama namun ideologi berbeda, (2) bahasa yang
berbeda namun ideologi sama, (3) bahasa yang sama namun terjadi perubahan
pandangan dari waktu ke waktu, (4) suatu bahasa dapat menggambarkan banyak
pandangan dunia yang berbeda, dan (5) pandangan seorang multibahasawan. Bahasa
dan budaya memiliki kedudukan yang sama tinggi, meskipun begitu banyak fakta
dalam kehidupan yang menunjukkan bahwa pengaruh budaya terhadap bahasa lebih
dominan ketimbang sebaliknya.
Daftar
Acuan
Brown, Gillian & George Yule
(dindonesiakan oleh Soetikno).1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Sebuah Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
David D. Steinberg, Hiroshi Nagata,
& David P. Aline. 2001. Psycholinguistics
Language, Mind, and World. London: Longman.
E. Soekamto, Katharina (peny.). 2003. Rampai Bahasa, Pendidikan, dan Budaya
(Kumpulan Esai Soenjono Dardjowidjojo). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hodidjah.
Bahasa Mempengaruhi Budaya atau
Sebaliknya?. Artikel (diunduh dari http://google.com,
pada 27 Juni 2012).
Mahsun.
2005. Metode Penelitian Bahasa.
Jakarta: Grafindo.
Nababan,
PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sibarani,
Robert. 1992. Hakikat Bahasa Bandung:Citra Adtya Bakti.
Tim Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat
Bahasa RI.
Analisis drama Kejahatan Membalas Dendam karya Idrus
Ekspresi Kepercayaan Idrus terhadap Janji Nippon dalam Drama Kejahatan Membalas Dendam
Oleh: Septian Cahyo P.
Idrus adalah salah seorang sastrawan yang berperan
sebagai pelaku sejarah. Ia ikut merasakan masa-masa penjajahan Jepang sampai
masa setelah Indonesia merdeka. Ia menuangkan segala peristiwa sejarah yang
dialaminya dalam cerpen-cerpennya. Tapi yang menarik adalah Idrus menceritakan
sejarah bukan seperti pengarang lainnya. Ia menceritakan sejarah dengan
mengkriktik bangsanya sendiri. Ia menyuguhkan kebenaran dengan cara mengungkap
keburukan dari bangsanya.
Salah satu karya Idrus yang mengkritisi bangsanya
yaitu drama Kejahatan Membalas Dendam.
Adapun tema utama dari drama tersebut adalah cinta segitiga, antara Ishak,
Satilawati, dan Kartili. Ciri khas Romantik Idrus masih sangat kental pada
drama ini sama halnya ketika ia menulis cerpennya Ave Maria. Cerpen yang pernah dicekal oleh Keimin Bunka Shidoso
atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang dengan alasan judulnya yang terlalu
kebarat-baratan.
Dalam Kejahatan
Membalas Dendam Idrus menceritakan mengenai hubungan cinta antara Ishak dan
Satilawati yang tidak direstui oleh ayah dari Satilawati. Salah satu penyebab
ayahnya tidak menyetujui hubungan mereka adalah karena Ishak seorang penulis
muda. Ia mencoba menghadirkan sebuah kebaruan dalam dunia kesusasteraan
Indonesia melalui karya-karyanya. Ayah Satilawati yang juga seorang penulis
dari golongan lama tidak menyetujui pemikiran Ishak. Ia kemudian menggugat
karya Ishak sebagai karya yang tidak bermutu. Ishak yang merasa tertekan pergi
ke desa meninggalkan Satilawati. Di sisi lain, Kartili yang ternyata juga
menyukai Satilawati melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan
cintanya.
Ketika di desa Ishak menjadi lebih giat bekerja di
sawah, demi hasil padi yang melimpah untuk disetorkan kepada pemerintah. Ishak
juga berhasil membuat penduduk desa tidak segan lagi menyerahkan berasnya
kepada pemerintah guna keperluan perang. Singkat cerita hubungan Ishak dengan
Satilawati akhirnya direstui oleh ayahnya berkat bantuan dari sang nenek
Satilawati yang begitu besar jasanya. Kartili menjadi gila karena tekanan batin
yang dialaminya.
Melalui dramanya ini Idrus ingin menggambarkan
betapa pertentangan antara golongan tua dan muda selalu dimenangkan oleh
golongan muda. Terlihat dari kutipan berikut:
“Dan
dunia selalu membuktikan, bahwa pemudalah yang selalu menang dalam
perjuangannya dengan angkatan lama.”(Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, hlm. 71)
Kutipan diatas merupakan perkataan Ishak kepada ayah
Satilawati. Ia menyadarkannya bahwa angkatan baru hanya membutuhkan penghargaan
dari angkatan lama, tidak lebih. Angkatan baru tidak pernah memaksa angkatan
lama untuk menulis dengan gaya yang baru. Masing-masing memiliki kewajibannya
sendiri, angkatan lama bertugas mempertahankan tradisinya, angkatan baru
berusaha untuk mencari yang baru.
Melalui dramanya ini Idrus ingin membela angkatan
baru termasuk dirinya, agar jangan takut “dimusuhi” oleh angkatan lama. Sejalan
dengan pemikiran Chairil Anwar yang menganggap sajak-sajak Sutan Takdir
Alisjahbana ketinggalan zaman. Ia bersama dengan Charil Anwar seolah ikut
mengobarkan semangat untuk menciptakan suatu kebaruan dalam kesusateraan
Indonesia. Seperti apa yang diungkapkan H.B. Jassin, “zaman Jepang melahirkan Chairil Anwar dan Idrus, masing-masing
pembaharu puisi dan prosa...”
Aspek lain yang kiranya penting untuk mendapat
perhatian adalah ekspresi kepercayaan Idrus kepada pemerintah Nippon yang
dilukiskan dalam Kejahatan Membalas
Dendam. Awalnya memang sulit untuk dibuktikan keberpihakkan Idrus terhadap
Nippon, jika hanya melihat cerpennya Ave
Maria. Namun, dalam dramanya ini sangat terasa bagaimana pembelaan Idrus
terhadap Nippon. Pembelaan-pembelaan tersebut dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Tiga
tahun sudah Nippon di Indonesia. Selama ini kami hanya sebagai parasit. Jika
ada keuntungan bagi kami, kami mendekat kepada pemerintah sebagai ayam diberi
makan. Akan tetapi, jika tenaga harus dikerahkan, kami menjauh sebagai kucing
dibawakan lidi, tetapi semua itu telah berakhir.....Dan serentak kami
menceburkan diri ke dalam barisan ‘Prajurit Pembela Tanah Air’.” (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma,
hlm. 42)
Kutipan di atas merupakan kutipan cerita yang
dibacakan Asmadiputera kepada Suksoro yang ditulis oleh Ishak. Cerita
tersebutlah yang dipandang tidak bermutu oleh Suksoro sebagai penulis golongan
lama.
Melalui kutipan diatas terlihat bagaimana Idrus
masih terpedaya dengan janji manis Nippon dengan slogan 3A-nya. Idrus
benar-benar menganggap bahwa Nippon datang ke Indonesia sebagai saudara yang
akan membawa bangsa ini menuju zaman yang terang. Padahal telah tertulis di
buku-buku sejarah, tentang penderitaan rakyat Indonesia di bawah penjajahan
Jepang yang hanya 3,5 tahun tidak kalah pedihnya dibandingkan penderitaan
dijajah Belanda selama 3,5 abad.
Kutipan lain yang dapat memperkuat argumen ini
yaitu:
“Tentang
penyerahan padi. Mengapa mereka harus menyerahkan padi kepada pemerintah, bahwa
mereka harus bergiat menanam padi dan menyerahkannya. Untuk perang, untuk
kemenangan akhir kataku...” (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, hlm. 58)
Kutipan diatas adalah perkataan Ishak kepada segenap
penduduk desa yang sedang memanen padi di sawah. Perkataan tersebut tidak
dimengerti oleh penduduk desa yang berbahasa Sunda karena menggunakan bahasa
Indonesia. Akhirnya Ishak menceritakan hal ini kepada sang nenek, dan nenek itu
pun tahu apa yang harus ia lakukan.
Dalam kutipan di atas Idrus bicara tentang
penyerahan padi untuk perang. Pertanyaannya adalah perang dengan siapa?
Bukankah musuh yang sebenarnya adalah Nippon? Nippon benar-benar pandai dalam
memutar balikkan fakta. Mereka membuat propaganda-propaganda agar rakyat mau
tunduk kepada Nippon. Rakyat Indonesia disuruh masuk kepada barisan jibaku,
mereka harus menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah, semua demi
kepentingan Nippon dalam berperang melawan sekutu.
Di akhir cerita Idrus melukiskan semangat Ishak
dalam bekerja sebagai petani. Ini merupakan bentuk simbolik Idrus yang
menganjurkan rakyat Indonesia agar bekerja keras demi kepentingan Nippon,
karena hasil panen akan diserahkan kepada pemerintah untuk ‘biaya’ perang.
Dalam karya Idrus ini terdapat unsur ‘sastra
propaganda’, yang tujuannya mengubah pandangan atau paradigma rakyat Indonesia
terhadap pemerintah Nippon. Tapi untunglah Idrus tidak berlarut-larut dalam
kegelapan ini, sehingga pada karya-karya selanjutnya tidak lagi berisi
propaganda atau pembelaan terhadap Nippon. Ia lebih mengedepankan kritik
terhadap bangsanya setelah kemerdekaan, yang terlalu terlena akan euforia kemenangan.
Penulis