Indonesia

Sample text

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Advertising

Advertising

Translate

Social Icons

Followers

About Me

Foto Saya
Septian Cahyo Putro
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Pendidik di Bizsmart School Depok
Lihat profil lengkapku

Featured Posts

Archive for Juli 2013

Pantaskah Puisi Dibatasi?




Beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah acara writing camp di daerah Cibinong, Jawa Barat. Acara tersebut diselenggarakan oleh Griya Sastra dan Budaya Obor atas prakarsa seseorang bernama Naning Pranoto. Ia adalah seorang penulis novel, cerpen, dan puisi yang sudah mengabdikan dirinya pada dunia sastra selama bertahun-tahun.

Acara tersebut diisi oleh penulis-penulis berbakat serta pemateri yang cukup mumpuni di bidang sastra—meski saya baru kenal nama-namanya. Pesertanya terdiri dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa sastra, pengisi suara (dubber), pemain teater, hingga sekedar peminat sastra.
Materi yang paling saya tunggu-tunggu saat itu adalah materi tentang proses kreatif menulis. Pembicara dari materi tersebut adalah seorang dosen sastra bernama Nenden Suryani. Kesimpulan dari materinya adalah untuk menjadi seorang penulis yang kreatif harus ditumbuhkan sikap aktif, rajin membaca, dan sering bergaul dalam pribadi masing-masing. Seorang penulis harus terus menjadi pengamat secara terus-menerus.
Kemudian salah seorang peserta bertanya, “menurut Ibu bagaimana puisi yang bagus itu?”
Lalu ia menjawab yang intinya adalah puisi yang bagus itu memiliki beberapa kriteria yaitu strukturnya padu, tidak bermain kata-kata, tidak gelap dan jelas maknanya, serta jernih. Lalu timbul dalam benak saya apakah puisi harus selalu seperti itu, lalu bagaimana dengan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri atau Remy Silado? Ketika hendak saya tanyakan apa yang ada di pikiran saya, moderator yang saat itu adalah Naning Pranoto telah menutup diskusi dan melanjutkan dengan acara-acara hiburan semata.
Saya sendiri telah melakukan pengamatan ketika mengajar penulisan puisi pada siswa tingkat SMP kelas 8. Mereka saya bebaskan untuk menulis puisi, menulis dengan penghayatan, menulis apa yang ada dibenak mereka, saya berkata, “tulislah apa yang ingin kalian tulis!” dan hasilnya luar biasa. Ternyata sewaktu kelas 7 ketika mereka mendapat materi yang sama, sang guru membatasi kreasi mereka. Gurunya yang menentukan tema, menentukan, bait dan lariknya, menentukan gaya bahasanya, bahkan menetukan persajakannya. Hasilnya jauh dari kata luar biasa. Lalu pantaskah puisi dibatasi?
Pagi harinya setiap peserta diberikan kesempatan membuat sebuah puisi dengan tema yang telah ditentukan oleh Naning Pranoto. Puisi yang dianggap bagus—mungkin lebih tepat enak didengar—akan mendapat hadiah sebuah buku dari beliau. Saya kemudian membacakan sebuah puisi milik teman saya yang larik awalnya seperti ini. 
Hujan melesat menembus dada
....
Larik selanjutnya saya lupa namun jumlah seluruh larik hanya ada tiga. Setelah saya membaca ia pun bertanya, “apakah hujan bisa melesat? Bukankah hujan itu jatuh dari langit ke bumi? Kalau melesat itu anak panah, kalau hujan tidak tepat dengan kata melesat, coba perbaiki kosakata tersebut. Meski bebas tapi dalam pemilihan bahasa harus sesuai dengan logika.”
Lalu, bukankah puisi itu sastra? Dan dalam sastra kita bisa bebas berimajinasi. Kita bisa membayangkan apa saja dalam sastra. Fungsi penting sastra adalah menjaga bahasa bukan menjaga realitas tetap seperti realitas. Lalu mengapa harus dibatasi? Bagi kita manusia, hujan mungkin tidak melesat tapi bagi semut-semut kecil, hujan itu melesat dari langit sama seperti ketika kita melihat meteor dari luar angkasa. Saya rasa tidak perlu ada kosakata yang dibenarkan dalam puisi tersebut.
Bagi saya pribadi pembatasan terhadap puisi tidak pernah menghasilkan sebuah inovasi. Pemikiran-pemikiran konservatif akan terus berkembang jika tidak ada seorang inovator. Bayangkan jika tidak ada Chairil Anwar yang mendobrak tradisi puisi lama Sutan Takdir Alisjahbana, sampai saat ini kita menulis puisi masih mengikuti gaya beliau.
Sastra itu merdeka, tidak seperti politik karena politik itu licik. Maka sastra harus membebaskan imajinasi jangan picik seperti politik. Puisi yang bagus itu relatif, tidak pernah ada standar mutlak baginya. Sedang bagi saya puisi yang bagus adalah puisi yang mengandung unsur inovasi dan mencerahkan bagi pembacanya.

- Copyright © Halaman Tian - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -